FPBI-CABANG KAB.BEKASI, FKI-SPSI, FEDERASI-GSPB, FEDERASI-PROGRESIP, KASBI-BEKASI, GESBURI, FSPMI.
“Tahun 2011-2012 yang lalu adalah tahun pembebasan kaum buruh dari perbudakan modern.
Kini kemenangan-kemenangan kecil itu ingin dirampas kembali
oleh rezim penguasa dan pengusaha dengan memberangus
serikat melalui PHK masal”.
Salam Pembebasan...!!!
Masih terlintas dalam ingatan kita, dimana seluruh serikat pekerja di kabupaten bekasi secara bersama-sama tanpa melihat warna bendera serikat telah melakukan solidaritas perjuangan dari pabrik ke pabrik untuk menghapuskan sistem kerja kontrak dan outsourching. Bukanlah jumlah yang sedikit, ribuan pekerja kontrak dan outsourching kini telah mendapatkan hak-haknya setelah statusnya berubah menjadi pekerja tetap. Hal ini merupakan kemenangan-kemenangan kecil bagi perjuangan kaum buruh yang juga berdampak positif pada serikat buruh dengan bertambahnya jumlah anggota yang merupakan hasil dari perjuangan bersama.
Namun kemenangan kecil itu yang merupakan normatif dirasa beban bagi para pengusaha-kapitalis, dikit demi sedikit kaum pengusaha-kapitalis telah melancarkan serangan balik kepada gerakan buruh, dimulai dari serangan para preman bayaran yang mengatas namakan warga bekasi ke pabrik samsung dan byung hwa. Sungguh perbuatan yang sangat keji dengan mengupayakan benturan konflik horizontal antara buruh dengan warga sekitar pabrik yang sebenarnya sama-sama rakyat tertindas.
Upaya pembiaran yang dilakukan oleh aparat kepolisian di kab. Bekasi telah memberikan dampak negatif bagi proses demokrasi yang mengakibatkan terjadinya benturan fisik antara sejumlah ormas dengan serikat buruh yang sedang melakukan perjuangan upah pada mogok nasional tanggal 31 oktober 2013 lalu. Merasa mendapat dukungan dari rezim yang berkuasa, para pengusaha nakal kembali melakukan penyelewengan terhadap peraturan perundangan-undangan dengan melakukan PHK masal sepihak yang tidak mengacu pada ketentuan hukum yang berlaku.
Maraknya PHK masal sepihak yang dilakukan oleh pengusaha-kapitalis, tidaklah serta merta terjadi begitu saja, melainkan merupakan bagian dari skema serangan balik rezim penguasa dan pengusaha untuk meredam gerakan kaum buruh di kabupaten bekasi. Bahwa dalam kaca mata hukum positif UUK 13/2003 telah mengatur tata cara prosedural formal Pemutusan Hubungan Kerja yang tidak bisa dilakukan secara sepihak oleh pengusaha;
• “pasal 151 ayat (2) Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh”. Yang artinya prosedural Pemutusan Hubungan Kerja yang boleh dilakukan oleh pengusaha adalah apabila sudah melalui proses “perundingan”.
• “pasal 151 ayat (3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) benar-benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial”. Yang artinya selama belum adanya penetapan dari lembaga penyelesaian hubungan industrial, maka pekerja masih mempunyai “hubungan kerja” dengan perusahaan si pemberi kerja, yang berarti pengusaha “belum dapat melakukan PHK (batal demi hukum sesuai pasal berikutnya psl 155 (1)”.
• “pasal 155 ayat (2) Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial
Belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala Kewajibannya” yang artinya selama proses perselisih PHK tersebut, maka pekerja dan pengusaha harus melaksanakan masing-masing kewajibannya yang berarti kewajiban pekerja adalah “bekerja untuk menjalankan produksi” dan kewajiban pengusaha adalah “membayarkan upah”.
• “Pasal 155 ayat (3) Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berupa tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh”. “yang artinya selama proses PHK, maka pengusaha bisa saja melakukan skorsing kepada pekerja yang akan di PHK, namun tetap membayarkan “upah beserta hak-hak lainnya”.
Namun pada fakta dan kenyataan dilapangannya banyak pengusaha yang melakukan PHK masal sepihak tanpa mengutamakan perundingan terlebih dahulu (bertentangan dengan pasal 151 ayat 2). Kemudian pengusaha tidak membayarkan upah serta hak-hak yang lainnya selama proses PHK berlangsung, bahkan pengusaha telah mencabut kepesertaan jamsosteknya (bertentangan dengan pasal 155 ayat 3). Lalu kemudian pengusaha juga langsung mengintruksikan kepada security perusahaan untuk melarang pekerja yang akan di PHK untuk dapat masuk ke dalam lingkungan/area pabrik (bertentangan dengan pasal 155 ayat 2). Hal-hal tersebut telah menunjukan bahwa kaum pengusaha-kapitalis semakin berani mengangkangi Undang-undang ketenagakerjaan yang berarti sama dengan melecehkan konstitusi negara.
Disisi yang lain aparat kepolisian telah terlalu jauh mencampuri urusan ketenagakerjaan dengan melakukan penjagaan dan sampai pengusiran paksa dengan menembakan gas air mata serta melakukan pemukulan terhadap kaum buruh korban PHK sepihak (seperti yang terjadi di KALBE dan SPS), yang sebenarnya aparat kepolisian atau siapapun (preman bayaran) tidak punya hak untuk mengusir dan melarang pekerja korban PHK sepihak untuk datang bekerja ke pabrik, sebab hubungan kerja masih berlangsung selama proses Pemutusan Hubungan Kerja yang dilakukan oleh pengusaha belum mendapatkan “PENETAPAN” dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan indutrisal. Artinya kehadiran para pekerja korban PHK adalah merupakan HAK pekerja yang telah diatur dalam UUK 13/2003.
Bahwa Komite Aksi Bersama yang terdiri dari beberapa unsur serikat buruh di kabupaten bekasi menilai adanya indikasi upaya pembiaran yang dilakukan oleh pegawai Disnakertrans Kab. Bekasi terhadap proses PHK massal yang tidak prosedural hukum, yang seharusnya menjadi tanggung jawab institusi Dinas Ketenagakerjaan untuk melakukan pembinaan dan pengarahan kepada Pengusaha nakal untuk mentaati hukum yang berlaku di dalam UUK 13/2003. Bahwa patut kita ketahui Undang-Undang No.13 Tahun 2003 telah berusia lebih dari 10 tahun sejak ditetapkan sebagai undang-undang, tetapi hingga saat ini penegakan pelaksanaan Undang-undang ini masih sangat lemah khususnya didaerah kabupaten bekasi dibuktikan dengan sangat banyaknya PHK semena-mena yang dilakukan oleh pengusaha tanpa memperhatikan ketentuan hukum yang berlaku. Tidak berjalannya penegakkan pelaksanaan UU Ketenagakerjaan selama lebih dari 10 tahun ini dapat disimpulkan akibat TIDAK ADANYA POLITICAL WILL (kemauan politik) dari Dinas Ketenagakerjaan kabupaten bekasi dalam penegakkan UU Ketenagakerjaan karena bila ada Political Will dari Disnakertrans Kab Bekasi maka waktu 10 tahun cukup untuk menyiapkan factor-faktor teknis demi penegakkan UU Ketenagakerjaan tersebut.
Apabila pemerintah tunduk dan patuh terhadap konstitusi negara maka, kunci penegakkan perundang-undangan adalah apparatus pemerintah yang berkomitmen dalam menjalankan peran dan fungsinya serta bersih dari tindakan korupsi. Dan apabila pemerintah dan pengusaha selama ini tetap melakukan perselingkuhan busuk yang mengakibatkan terabaikannya peraturan perundang-undangan, maka tidak ada pilihan lain bagi kaum buruh untuk mengambil jalannya sendiri dalam setiap penyelesaian persoalan perburuhan yaitu dengan jalan PERSATUAN dan PERJUANGAN. Sebab jika situasi dan kondisi seperti yang diatas ini terus berlanjut, maka akan sangat melemahkan gerakan buruh dalam melakukan perjuangan normatif guna menegakan hukum terkhusus UUK 13/2003.
Oleh karena itu atas dasar fakta-fakta yang kami paparkan diatas, maka KOMITE AKSI BERSAMA yang terdiri dari beberapa unsur serikat buruh di kabupaten bekasi, menyatakan sikap:
1. Menuntut pertanggung jawaban negara dalam hal ini adalah DISNAKERTRANS Kab. BEKASI untuk dapat segera mengeluarkan surat PENEGASAN yang kemudian ditujukan kepada seluruh pengusaha yang berada diwilayah kawasan industri Kab. Bekasi untuk dapat memperhatikan, menaati dan melaksanakan UUK 13/2003 terkhusus pada pasal 151 ayat (2), (3) dan pasal 155 ayat (2), (3). Sebagai upaya perlindungan terhadap korban PHK masal sepihak.
2. Meminta kepada Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Bekasi untuk dapat menindak dengan tegas serta mengeksekusi para pengusaha nakal yang tidak mau menjalankan hasil Nota Pengawasan.
3. Meminta kepada Kepala DISNAKERTRANS Kab. Bekasi agar dapat menindak serta memberikan sanksi tegas kepada seluruh pegawai DISNAKER yang tidak menjalankan Tugas Pokok dan Fungsi (TUPOKSI) nya.
4. Berantas segala bentuk praktek MAFIA HUKUM PERBURUHAN yang berada di wilayah Kabupaten Bekasi.
Cikarang, 30 Januari 2014
Hormat Kami,
KOMITE AKSI BERSAMA