0
PORTAL KNGB, Jakarta - Istilah atau sebutan “fasis” merupakan istilah yang sangat sering terdistorsi dalam sejarah manusia. Setidaknya “fasis” menduduki peringkat kedua paling tedistorsi setelah label “anarkis” yang dengan salah kaprah diartikan sebagai tindak kekerasan. Fasisme sering dilabelkan ke berbagai kalangan mulai kepada kalangan konservatif, sosialis, komunis, trotsykis, katolik, penentang perang, pendukung perang, sampai kepada kalangan nasionalis. Bahkan tidak sedikit yang menyematkan label fasis kepada rezim Susilo Bambang Yudhono (SBY) saat ini.[1]

Benarkah rezim SBY adalah rezim fasis? Masalahnya adalah bisakah setiap rezim atau kelompok yang otoriter begitu saja dilabeli sebagai fasis? Sebelum kita menilai benar tidaknya dan tepat tidaknya definisi dan penyematan fasis kepada rezim SBY maka perlu kita cari perbandingan definisi mengenai fasisme terlebih dahulu untuk mencari pemahaman bersama mengenai apa itu fasisme. Disini kita akan mencari pendefinisian melalui tiga tahap. Tahap pertama adalah pendefinisian fasisme menurut pengertian dalam kebahasaan secara harafiah atau dengan mengacu pada kamus.Tahap kedua adalah pendefinisian fasisme menurut mereka yang menggolongkan diri sebagai fasis atau penganut fasisme. Serta tahap ketiga, yaitu pendefinisian fasisme melalui analisis ekonomi-politik yang diletakkan dalam konteks sosio-historis.

Fasisme menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) didefinisikan sebagai Prinsip atau paham golongan nasionalis ekstrem yg menganjurkan pemerintahan otoriter. Sedangkan menurut Kamus Oxford, fasisme adalah extreme totalitarian right-wing nationalist movement atau bisa diterjemahkan sebagai gerakan nasionalis sayap kanan totaliter ekstrim. Kedua kamus tersebut mencantumkan kesamaan ciri fasisme sebagai nasionalisme ekstrim dengan disertai kesewenang-wenangan. (Otoriter menurut KBBI adalah “berkuasa sendiri dan sewenang-wenang” sedangkan totaliter adalah “bersangkutan dengan pemerintah yang menindas hak pribadi dan mengawasi segala aspek kehidupan warga negaranya.”) Dibandingkan dengan definisi kedua kamus tersebut, definisi fasisme secara lebih komprehensif bisa ditemukan di ensiklopedia dalam jaringan, Wikipedia.

Menurut Wikipedia, “Fasisme merupakan suatu paham atau ideologi politik yang menyatakan bahwa baik kepentingan individu maupun kepentingan sosial bersifat subordinat terhadap kepentingan negara dimana asas yang berlaku adalah suatu ultra-nasionalisme atau nasionalisme ekstrem yang menjunjung persatuan-kesatuan warga negara dengan berdasarkan klasifikasi ras, etnis, kulural, maupun agama.” Dengan demikian poin penting yang bisa ditambahkan disini, fasisme menempatkan kepentingan negara di atas segalanya dengan embel-embel berbau SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan). Selain itu (masih menurut wikipedia), berbagai ilmuwan menjelaskan bahwa fasisme memiliki beberapa ciri atau karakteristik yang berbeda-beda menurut satu ilmuwan dengan ilmuwan lainnya, namun sebagian besar menemukan persamaan ciri berikut yang integral dalam fasisme, yaitu nasionalisme, statisme, militerisme, totalitarianisme, anti-komunisme, korporatisme, populisme, kolektivisme, dan penentangan terhadap liberalisme dalam politik maupun ekonomi[2].

Lebih detail mengenai hubungan fasisme dan sifat pemerintahan totaliter/otoriter, dijelaskan bahwa fasisme dicirikan dengan upaya-upaya totaliter untuk membebankan kontrol negara terhadap semua aspek kehidupan: baik politik, sosial, kebudayaan maupun ekonomi, dengan pemerintahan yang kuat dan pemerintahan satu partai dengan membuat peraturan-peraturan hukum yang kuat dan terkadang mengarahkan milisi brutal atau kekerasan polisi untuk menerapkannya. Fasisme memuja negara, bangsa, ataupun sekelompok orang sebagai sekumpulan individu yang superior. Fasisme menggunakan retorika populis secara eksplisit; seruan-seruan upaya massa herois untuk mengembalikan kejayaan masa lalu, dan tuntutan-tuntutan untuk kesetiaan pada satu pemimpin tunggal, sehingga mengarah pada kultus kepribadian atau kultus individu dan kepatuhan mutlak pada perintah.[3]

Berikutnya kita bergerak ke tahap ketiga dengan mengambil perbandingan definisi menurut mereka yang menggolongkan diri sebagai fasis atau penganut fasisme. Benito Mussolini, perdana menteri Italia yang kemudian menjadi diktator fasis Italia dalam karyanya The Political dan Social Doctrine of Fascism atau Doktrin Politik dan Sosial Fasisme, menyatakan bahwa fasisme, “Anti-individualistic, the fascist conception of life stresses the importance of the State and accepts the individual only insofar as his interests coincide with those of the State, which stands for the conscience and the universal will of man as a historic entity…. The fascist conception of the State is all-embracing; outside of it no human or spiritual values can exist, much less have value…. Fascism is therefore opposed to that form of democracy which equates a nation to the majority, lowering it to the level of the largest number…. We are free to believe that this is the century of authority, a century tending to the ‘right’, a Fascist century. If the nineteenth century was the century of the individual (liberalism implies individualism) we are free to believe that this is the ‘collective’ century, and therefore the century of the State.”, atau dalam bahasa Indonesia berbunyi, “anti-individualis, konsepsi fasis atas kehidupan menekankan pada pentingnya Negara dan menerima individu sejauh individu yang bersangkutan dan kepentingannya bersesuaian dengan Negara, yang berdiri untuk nurani dan keinginan universal dari manusia sebagai entitas historis…konsepsi fasis tentang Negara adalah menerima sepenuhnya; di luar negara tidak ada nilai-nilai spiritual yang eksis, apalagi bernilai…Fasisme oleh karena itu menentang demokrasi bentuk itu yang menyamaratakan sebuah bangsa dengan mayoritas, merendahkannya kepada tingkat jumlah terbesar…kita bebas untuk mempercayai bahwa kini adalah abad otoritas, abad yang cenderung ke ‘kanan’, suatu abad Fasis. Bilamana abad kesembilanbelas adalah abad ndividual (liberalisme yang menyiratkan individualisme) kita bebas untuk mempercayai bahwa ini adalah abad ‘kolektif’, dan karena itu adalah abadnya Negara.”


Setelah menempuh dua tahap dalam mendefinisikan fasisme, maka kita akan menempuh tahap ketiga untuk mencari definisi yang jelas mengenai fasisme. Tahap definisi fasisme menurut analisis ekonomi-politik yang diletakkan dalam konteks sosio-historis. Menurut analisis ekonomi politik dengan menerapkan pisau bedah materialisme-dialektika-historis (MDH), kebangkitan fasisme ditentukan oleh dua faktor yaitu faktor obyektif (faktor eksternal) dan faktor subyektif (faktor internal). Faktor obyektif meliputi terjadinya krisis kapitalisme, kepentingan kapitalisme untuk mempertahankan sistemnya membuatnya berseberangan tidak hanya dengan kelas proletar namun juga terhadap demokrasi, serta kegagalan perjuangan kelas proletar untuk merebut kekuasaan dan menumbangkan kapitalisme. Sedangkan faktor subyektif terdiri atas basis massa dan pandangan kelas fasisme, sistem ekonomi fasisme, praktek politik fasisme, serta pandangan sosial-kebudayaannya.

Faktor subyektif pertama dari fasisme yang penting diperhatikan adalah fasisme menggunakan kelas borjuis kecil dan lumpen proletar sebagai basis massa mereka. Apa dan siapakah kelas borjuis kecil ini? Kelas borjuis kecil adalah mereka yang terlibat kerja namun tidak semassif kerja produksi kelas buruh atau kaum proletar. Di sisi lain mereka tidak menguasai kapital seperti kelas kapitalis. Dalam artian mereka juga memiliki modal namun jauh lebih kecil bahkan banyak yang tidak memiliki modal sama sekali. Posisi mereka sedikit di atas kelas buruh karena mereka tidak sekedar menjual tenaga kerja melainkan juga keahlian atau ketrampilan khusus. Mereka yang masuk golongan ini seringkali menurut analisis ekonomi awam disebut sebagai kelas menengah dan menengah ke bawah. Bagaimana bisa mereka menjadi basis massa fasisme? Sebab ini terkait dengan mentalitas kelas mereka yang dipengaruhi status kelas mereka sebagai kelas borjuasi kecil. Mereka ingin naik kelas menjadi borjuasi besar namun sulit diwujudkan dalam strata sosial karena mereka tidak menguasai kapital. Sedangkan disisi lain meskipun mereka terlibat dan melakukan kegiatan kerja, mereka khawatir berakhir menjadi kelas buruh atau kaum proletar.

Bagaimana sebenarnya hubungan kelas dalam kebangkitan dan kekuasaan rezim fasis? Hubungan dialektis antara borjuasi kecil, lumpen proletar, dan kapitalis tersebut dipaparkan dengan baik oleh, Lev Davidovich Bronstein yang kelak dikenal sebagai Leon Trotsky. Terkait hal ini faktor historis dari kelas borjuasi merupakan elemen integral yang harus turut dibahas dalam analisis kelas. Kelas borjuasi selama ini telah mengalami tiga tahap perkembangan sejarah. Pertama, tahap kebangkitan kapitalisme. Kedua, tahap tumbuh dan berkembangnya kapitalisme. Ketiga, tahap kemunduran kapitalisme atau disebut juga sebagai krisis kapitalisme.

Saat kita melihat sejarah dimana kapitalisme mulai bangkit dan kemudian berhadapan dengan feodalisme, disini kita juga melihat bahwa terjadi pertentangan antara kaum borjuasi yang mewakili industrialis atau kapitalis yang masih muda dengan kaum feodal. Sebenarnya dalam transisi antara era feodalisme ke era kapitalisme, kalangan borjuasi bukan merupakan kalangan mayoritas di masyarakat. Karena itu kalau hanya mengandalkan kekuatan sendiri mereka tidak akan mampu berhadapan secara langsung dengan kalangan kerajaan, menghancurkan monarki, menghapuskan feodalisme, serta memisah kehidupan politik dengan kehidupan agama atau menjalankan sekulerisme. Sehingga untuk menghimpun kekuatan melawan feodalisme, kalangan borjuasi harus, dan dalam catatan sejarah, telah, menghimpun kaum tani, kelas borjuasi kecil, dan kelas proletar yang baru lahir untuk bersatu melawan feodalisme. Di sini, pada tahap awal kebangkitannya, kaum borjuasi memainkan peran yang revolusioner, untuk menghancurkan feodalisme, membangun demokrasi parlementer, mengembangkan teknologi dan industri, menyebarkan kebebasan informasi dan hak memproduksi media massa dengan menjalankan pers, walaupun pada keberlanjutannya, mereka kemudian mengalami degenerasi, dipenuhi kontradiksi internal, bahkan dengan cepat berbalik menjadi kekuatan reaksioner. Sebagai akibat dari dominasi dan eksploitasi kapital, kalangan borjuasi atau tepatnya kelas kapitalis kemudian segera menyingkirkan mantan sekutunya dalam menghancurkan feodalisme, yakni kelas borjuasi kecil, kaum tani, dan kelas proletar, ke dalam penindasan kapitalisme.

Tidak dapat dipungkiri bahwa kapitalisme lahir dan bermula di benua Eropa, khususnya di Inggris dan Perancis. Momentum penting diwakili oleh peristiwa Revolusi Industri di Inggris dan Revolusi Perancis yang membawa masa Renaissance atau jaman pencerahan dimana kesuksesan paling gemilang bisa diambil contohnya berupa penghancuran monarki Perancis dan pembentukan republik. Di sini, kelas borjuasi kecil, diwakili oleh kaum Jacobin. Kaum Jacobin ini merupakan sayap kiri paling revolusioner dari kelas borjuis kecil dimana dalam tingkatan paling progresifnya, mereka dipimpin oleh Maximilien Robespierre. Kaum Jacobin mendapat sokongan kuat dari milisi yang diorganisir sebagai tentara revolusioner yang terdiri dari barisan buruh perkotaan, mereka ini disebut dengan sans-culottes. Dukungan yang mereka berikan berperan vital dalam keberlangsungan pemerintah yang muncul dari revolusi perancis khususnya terhadap rezim penguasa Jacobin pimpinan Robespierre dan Dewan Keamanan Publik serta Komune Paris (pusat pemerintahan Perancis sejak revolusi meletus). Golongan ini kemudian pada gilirannya diserang balik oleh mereka yang mereka dukung. Sans-culottes dihancurkan oleh Robespierre dengan Komite Keamanan Publiknya yang kemudian berhasil menangkap, memenjarakan, dan mengeksekusi pimpinan-pimpinan mereka. Suatu ironi muncul ketika Pengadilan Revolusioner yang juga disokong oleh sans-culottes juga digunakan untuk menghancurkan mereka. Sedangkan nasib kaum borjuasi kecil pimpinan kaum Jacobin sendiri berikutnya menyusul berakhir bersamaan dengan tumbangnya Robespierre. Borjuasi kecil kemudian juga ditumbangkan oleh kelas borjuasi yang dulu memanfaatkannya. Mengapa hal ini terjadi? Kembali, Lev Davidovich Bronstein dalam uraiannya memaparkan kontradiksi dan hubungan dialektis antara borjuasi dan borjuasi kecil.

“…hubungan antara borjuis dan dukungan sosialnya, yaitu borjuis kecil, sama sekali tidak bersandarkan pada kepercayaan mutual dan kolaborasi mutual. Berdasarkan karakter massanya, borjuis kecil adalah sebuah kelas yang tersisihkan dan tereksploitasi. Mereka melihat kaum borjuis dengan rasa iri dan sering juga dengan rasa benci. Kaum borjuis, pada pihak lain, tidak mempercayai kaum borjuis kecil walaupun menggunakan dukungan dari mereka, karena mereka sangat takut terhadap kecenderungan kaum borjuis kecil untuk menghancurkan batasan-batasan yang dibentuknya dari atas.

Saat mereka merencanakan dan melapangkan jalan bagi perkembangan borjuis, dalam setiap langkah mereka kaum Jacobin terlibat dalam pertentangan yang tajam dengan kaum borjuis. Mereka melayani kaum borjuis di dalam perjuangan mereka yang keras dalam melawan borjuis. Setelah mereka telah mencapai titik tertinggi dari peran historis mereka yang terbatas, kaum Jacobins jatuh, karena dominasi kapital adalah sesuatu yang sudah pasti[4].“

Ketika kelas borjuasi atau lebih tepatnya kelas kapitalis meraih kekuasaannya setelah menumbangkan feodalisme maka dimulailah tahap kedua yaitu tahap tumbuh dan berkembangnya kapitalisme. Kelas borjuasi kemudian membangun demokrasi parlementer yang menjanjikan kebebasan lebih besar daripada feodalisme. Sedangkan dari segi ekonomi, ketika kapitalisme tumbuh dan berkembang, tidak hanya bisnis yang berkembang, industri yang menguat, dan kelas menengah yang tumbuh, namun kelas buruh juga diuntungkan dalam beberapa hal tertentu. Baik berupa upah yang meningkat, keberadaan jaminan sosial atau asuransi jiwa bagi kelas pekerja, obat yang terjangkau, jam kerja yang tidak sepanjang dulu, maupun kebebasan untuk berpendapat dan berserikat.
Menghadapi kebebasan dan kondisi ekonomi yang lebih baik tersebut, sebagian besar kalangan borjuis kecil mengelompokkan diri mereka ke dalam kelompok-kelompok demokrat atau kelompok-kelompok reformis. Mereka memandang bahwa dengan adanya demokrasi liberal tersebut maka perjuangan tidak perlu lagi harus menempuh revolusi. Cukup dengan memobilisasi massa untuk memilih lewat pemilu dan memenangkan tuntutan-tuntutan mereka melalui parlemen. Segala bentuk perjuangan kelas kemudian dibelokkan oleh ilusi-ilusi demokrasi borjuis karena menurut mereka perubahan bisa dilakukan melalui parlemen. Pengaruhnya tidak hanya pada borjuis kecil namun juga pada gerakan serikat buruh yang berhasil disubordinasikan perjuangan kelasnya menjadi perjuangan parlementer termasuk seperti pada kelompok-kelompok pimpinan kaum sosial demokrat.

Hal ini sebenarnya tidak lebih dari bentuk penindasan yang lebih halus, tersamarkan, dan terkompromikan, atau dengan kata lain merupakan bigger cage, longer chains, sangkar yang lebih besar dan rantai yang lebih panjang. Dalam kapitalisme, kelas pekerja tetap akan terbelenggu dan tereksploitasi. Perjuangan reformis kelas pekerja di negara-negara dunia pertama bisa saja mencapai kemenangan sementara. Namun ini bukanlah kemenangan mutlak karena tetap menolerir bahkan menyokong sistem sosial ekonomi kapitalisme. Karena, “…meski kapitalisme memuaskan gerakan buruh dunia pertama dengan perubahan seperti upah minimum, sebagian besar komoditas yang yang dibuat untuk negara republik liberal diproduksi jauh dari mal ataupun perkotaan tempat komoditas itu dipasarkan. Hal ini terjadi bilamana kaum borjuis sudah tidak bisa lagi mengeksploitasi penduduk negerinya sendiri untuk mengeruk nilai tambah—mereka tinggal memindah lapangan kerja ke luar negeri sekaligus menggaet korban baru. Di sana keadaan kaum proletar abad ke-21 tidak beda dengan kondisi buruh pabrik eropa pada abad 19. Upah kecil, lingkungan kerja tidak aman, jaminan kesehatan dan pendidikan tidak cukup, serta tidak ada harapan perbaikan hidup…[5]”

Bagaimanapun juga karena krisis overproduksi, perlunya pasar baru, dan berbagai kontradiksi internal dalam kapitalisme yang kemudian mengantarkannya pada tahap tertinggi kapitalisme yaitu imperialisme. Imperialisme kemudian membawa pada pertentangan antar negara-negara kapitalis atau antar blok-blok negara kapitalis yang kepentingannya saling berseberangan. Pertentangan ini pertama kali mewujudkan diri ke dalam Perang Dunia (PD) I. Apa peran yang dimainkan oleh kelas borjuis kecil khususnya kalangan demokrat dan kalangan reformis-revisionis yang mengelompokkan diri sebagai kaum Sosial Demokrat? Apakah mereka menentang perang? Tidak. Mereka malah mendukung perang tersebut dan menggiring jutaan kelas pekerja untuk berperang dan dengan demikian saling membunuhi kelas pekerja dari negara lain.

Api perang imperialisme yang membakar negara-negara eropa dan seluruh koloninya ini kemudian menyulut munculnya krisis ekonomi yang dengan cepat merembet pada krisis-krisis lainnya. Kapitalisme yang telah mencapai puncaknya kini tidak mungkin mengalami perkembangan dan kenaikan lagi sehingga hanya menemui kemunduran dan penurunan besar-besaran menuju kematiannya. Inilah yang disebut sebagai tahap ketiga kapitalisme yaitu tahap krisis. Krisis ini merupakan faktor obyektif pertama sebagai prasyarat munculnya fasisme.

Dalam krisis kapitalisme, kelas proletar merupakan pihak yang paling dirugikan dan dikorbankan. Tidak ada lagi konsesi-konsesi yang menguntungkan kelas buruh seperti naiknya upah, tunjangan sosial, obat murah, dan keuntungan lainnya yang sempat didapat dari ‘kemenangan’ reformis dalam tahap tumbuh dan berkembangnya kapitalisme. Sebaliknya muncul banyak pukulan balik kepada kelas proletar, mulai dari potongan subsidi, pengurangan fasilitas, perpanjangan jam kerja, pemoloran waktu pensiun, pemangkasan upah, dan kerugian lain yang disebabkan oleh kelas kapitalis namun dibebankan kepada rakyat khususnya kelas proletar. Disinilah pertentangan atau antagonisme kelas semakin tajam dan semakin mustahil untuk didamaikan. Di satu sisi sistem kapitalisme semakin merosot menuju kehancuran namun disisi lain kalangan borjuasi atau lebih tepatnya lagi kelas kapitalis, memiliki kepentingan besar untuk mempertahankan kapitalisme dengan tujuan agar keberadaannya sebagai kapitalis tetap bertahan juga. Hal ini kemudian membawa kita pada faktor obyektif kedua sebagai prasyarat munculnya fasisme yaitu kepentingan kapitalisme untuk mempertahankan sistemnya membuatnya berseberangan tidak hanya dengan sosialisme-komunisme namun juga terhadap demokrasi. Maka seperti yang dikatakan Trotsky, “Dengan ini, kubu borjuis bertentangan tidak hanya dengan institusi demokrasi proletarian (organisasi-organisasi buruh dan partai-partai politik) tetapi juga dengan demokrasi parlementer yang melahirkan organisasi-organisasi buruh di dalam kerangkanya. Karena itu, kampanye yang mereka lakukan adalah melawan ‘Marxisme’ pada satu pihak dan melawan parlementarisme demokratis pada pihak yang lain. Tapi seperti halnya borjuis liberal yang pada zamannya tidak mampu dengan kekuatan mereka sendiri menghancurkan feudalisme, monarki, dan gereja, kaum kapital saat ini juga tak mampu dengan kekuatan mereka sendiri berhadapan dengan proletar. Mereka butuh dukungan borjuis kecil. Untuk tujuan ini, mereka harus dihela, dikuatkan, dimobilisasi, dan dipersenjatai.” Disinilah kelas kapitalis memanfaatkan krisis kapitalisme yang membuat seluruh tatanan kelas tengah terguncang berhasil memanfaatkan kefrustasian kelas borjuis kecil. Kelas borjuasi kecil yang diakibatkan oleh krisis kadibelokkan Mengapa kelas borjuis kecil mengalami frustasi? Karena, seperti sudah disebutkan sebelumnya, krisis kapitalisme diikuti dengan krisis multidimensi khususnya krisis sosial dan hal itu tidak hanya merugikan kelas proletar namun juga rakyat pada umumnya termasuk kelas borjuis kecil.

Bukti-bukti historis bagaimana kelas borjuis kecil sebagai basis massa fasisme diungkapkan secara rinci oleh Coen Hussain Pontoh dalam artikelnya Fasisme Relijius. Paparan analisis mengenai Fasisme dilakukan dengan mencantumkan kutipan pembahasan menurut Eric Hobsbawn.

“Eric Hobsbawn, dalam bukunya ‘The Age of Extremes A History of the World, 1914-19” (1994). Dalam bab 4 ‘The Fall of Liberalism’, Hobsbawn mengurai cerita yang menarik seputar kebangkitan fasisme di Italia dan Jerman: mengapa fasisme bisa muncul dan menguat, apa agenda politiknya, siapa basis sosial pendukungnya, dan siapa saja kawan aliansinya… Hobsbawn justru melihat bahwa basis utama pendukung gerakan ekstrim kanan ini datang dari kelas menengan dan kelas menengah bawah, khususnya pemuda-pemuda yang menjadi tentara nasional yang bertempur di garis depan pada masa PD I. Bagi Hobsbawan, lapisan sosial ini merupakan tulang punggung dari kebangkitan gerakan fasis. Setelah November 1918, mereka kembali ke negaranya dengan semangat kepahlawanan (heroisme) yang tinggi, mereka inilah kemudian direkrut sebagai pasukan khusus yang memainkan peran penting dalam mitologi gerakan kanan radikal. Di Italia mereka dikenal dengan nama squadristi dan di Jerman dengan nama freikorps. 57 persen dari pendukung partai fasis Italia pada awalnya adalah para bekas tentara ini. Di Vienna, Austria, pada pemilu 1932, pemilih partai nasionalis-sosialis (Nazi) 18 persen pemilihnya adalah wiraswasta, 56 persen adalah pekerja kerah putih, pekerja kantoran dan pekerja publik, dan 14 persen adalah pekerja kerah biru. Di luar kota Vienna, pada tahun yang sama, pemilih Nazi untuk dewan kota, 16 persen adalah wiraswasta dan petani, 51 persen adalah pekerja kantoran, dan 10 persen adalah pekerja kerah biru.

Selain mantan anak-anak muda tentara, lapisan menengah yang menjadi basis utama pendukung gerakan kanan radikal adalah mahasiwa. 13 persen dari pendukung partai fasis Italia pada 1921 (sebelum periode parade ke Roma) adalah mahasiswa. Di Jerman pada awal tahun 1930, lima sampai 10 persen anggotanya adalah mahasiswa. Kelompok ekstrim kanan lain di era modern ini, seperti rejim Taliban di Afghanistan, basis masa utamanya adalah mahasiwa[6].

Patut diperhatikan bahwa basis massa fasisme tidak hanya kelas borjuis kecil namun juga kelas lumpen proletar. Apa itu kelas lumpen proletar? Lumpenproletariat merupakan bentuk jamak dari lumpenproletarian (sebuah kata dari bahasa Jerman yang berarti harafiah, “proletar compang-camping”), dan didefinisikan pertama kali oleh Karl Marx dan Engels dalam Ideologi Jerman (1845) dan kemudian dielaborasikan lebih jauh dalam karya-karya lain Marx. Istilah ini sesungguhnya dilontarkan Marx untuk mendeskripsikan bahwa suatu lapisan dari kelas pekerja, tidak mungkin mencapai kesadaran kelas, terlepas dari produksi yang secara sosial bermanfaat, dan karena itu tidak berguna dalam perjuangan revolusioner atau malah menjadi penghalang bagi perwujudan masyarakat tanpa kelas.[7] Dalam Brumaire XVIII Louis Bonaparte yang terbit pada 1852, Marx mengacu pada lumpenproletariat sebagai “sampah dari semua kelas”, termasuk penipu, pelacur, pedagang kaki lima, pengemis, dan semua serpihan lain dari masyarakat. Menurut buku tersebut, Marx secara retoris mengacu pada lumpenproletariat sebagai fraksi kelas yang menjadi basis kekuatan bagi Louis Bonaparte di Perancis pada tahun 1848. Terkait hal ini, Marx menyatakan bahwa Bonaparte mampu menempatkan dirinya sendiri diatas dua kelas utama, kelas borjuis dan kelas proletar, dengan cara menyortir “lumpenproletariat” sebagai basis kekuasaan independen, semenatara pada kenyataannya dia memajukan kepentingan-kepentingan material dari “aristokrasi finansial”. Demi tujuan-tujuan retoris, Marx mengidentifikasikan Louis Napoleon sebagai anggota dari lumpenproletariat, sepanjang ia menjadi anggota aristokrasi finansial, dia tidak memiliki kepentingan langsung dalam perusahaan-perusahaan produksi[8]. Bagaimanapun juga perkembangan ini tidak dimaksudkan untuk menyamaratakan lumpenproletariat dengan kelas umum lain non-produsen termasuk dia sendiri dan juga kelas rentenir, sang kapitalis murni yang hidup sepenuhnya bergantung pada kapital.[9] Lumpenproletar ini sangat rapuh terhadap kekuatan reaksioner termasuk kepada kelompok fasisme. Bersama-sama dengan kelas borjuis kecil yang mengalami frustasi, demoralisasi, dan dibelokkan pemahaman atas akar masalah ekonominya, mereka digiring fasisme untuk menghantam semua lawan politiknya khususnya kelas pekerja.

Hal ini kemudian membawa kita pada faktor subyektif kedua, pandangan kelas Fasisme. Penjelasan terakhir pada paragraf sebelumnya menegaskan permusuhan fundamental fasisme kepada kelas pekerja dan ideologi progresifnya. Fasisme menganggap bahwa perjuangan kelas pekerja adalah perusuh yang mengacaukan negara ketika krisis. Fasisme menolak setiap bentuk perjuangan kelas dan sebagai gantinya menyodorkan pandangan kelas berupa kolaborasi kelas. Apa yang dimaksud dengan kolaborasi kelas ini? Kolaborasi kelas secara kontras bertentangan dengan perjuangan kelas. Mereka memandang bahwa hirarki dalam masyarakat, termasuk keberadaan kelas-kelas merupakan suatu hal yang positif dan merupakan sesuatu yang perlu dipertahankan dalam masyarakat. Dengan demikian fasisme mempertahankan keberadaan kelas kapitalis dan kelas pekerja atau kelas proletar, berikut semua kontradiksi dan antagonisme antara dua kelas fundamental tersebut.

Jelas ini membuktikan bahwa fasisme tidak menentang kapitalisme dan sebaliknya malah menyokongnya. Namun bagaimana ekonomi fasisme berbeda dengan ekonomi kapitalis di bawah rezim demokrasi liberal, tentu harus dijelaskan lebih lanjut. Pembahasan ini juga secara simultan membawa kita pada pembahasan faktor subyektif ketiga yaitu sistem ekonomi fasisme.

Sistem ekonomi fasisme walaupun tetap mempertahankan dan menyokong kapitalisme namun mereka menentang liberalisme ekonomi. Dengan demikian mereka menentang ekonomi pasar bebas. Meskipun mereka anti kapitalisme-laissez fairre yang berdasarkan persaingan namun mereka bukan anti-kapitalisme. Ini patut dicamkan karena banyak kelompok fasis yang mengatasnamakan sebagai kaum sosialis, terutama kaum fasis Jerman yang memakai istilah Nasionalisme Sosialis (Nazi). Secara riil fasisme sama sekali bukan sosialis. Sebaliknya, fasisme malah berdiri di atas sebuah bentuk sistem kapitalisme, yaitu kapitalisme negara atau state capitalism. Apa itu kapitalisme negara? Kapitalisme negara adalah sebuah sistem sosial ekonomi dimana pengakuan terhadap kepemilikan pribadi, kelas-kelas berdasarkan ekonomi politik, dan corak produksi kapitalis diletakkan dibawah pengendalian negara. Disini kalangan birokrasi memegang kendali dan kedudukan yang lebih besar, dominan, dan menguntungkan, tidak hanya secara ekonomi politik namun juga secara sosial. Dalam rezim fasisme, kelas kapitalis yang tidak berkolaborasi, memiliki kroni di kalangan birokrasi negara, atau bahkan menjadi bagian dari birokrasi negara tersebut, posisinya lebih rendah daripada kapitalis yang sebaliknya. Hubungan semacam ini kian kokoh karena penentangan fasisme terhadap demokrasi liberal. Sehingga kaum borjuasi tidak leluasa pula dalam menyalurkan politiknya. (Patut diperhatikan bahwa dalam kapitalisme, kelas kapitalis atau kaum borjuasi bukanlah sebuah entitas yang tunggal, terdapat juga klik-klik, kelompok-kelompok, atau lazim disebut sebagai faksi modal. Akibatnya—ini membawa kita pada faktor subyektif keempat:praktek politik fasisme dan pandangan sosial-budayanya.

Dalam hal politik, fasisme berlaku anti-multi partai. Fasisme hanya mengakui sistem satu partai bahkan menentang adanya oposisi. Sedangkan dalam bidang budaya, fasisme membangun kultus (pemujaan) individu, membangun kultus (pemujaan) maskulinitas, berorientasi SARA, serta menggunakan mitos-mitos kejayaan di masa lalu. Ini tampak sekali baik dalam fasisme Jerman maupun fasisme Italia. Pengagungan terhadap Hitler dan Mussolini, pemujaan terhadap kejantanan lelaki dengan diiringi peminggiran peran perempuan hingga hanya sebatas mengurusi anak, dapur, dan gereja, pandangan diskriminatif terhadap kaum yahudi, serta romantisme akan kejajayaan romawi dan ras arya di masa lalu.

Apakah hanya itu saja faktor-faktor fasisme? Tidak. Karena ada faktor obyektif terakhir namun merupakan faktor paling utama, yaitu fasisme bangkit dan berkuasa karena kegagalan perjuangan kelas proletar untuk merebut kekuasaan dan menumbangkan kapitalisme. Kegagalan ini secara historis terjadi di setiap penjuru dunia dimana kemudian fasisme mengalami kemenangan. Baik di Italia, di Jerman, di Jepang, maupun di Indonesia.

Dalam kasus yang terjadi di Italia, pada tahun 1920 (setelah perang dunia (PD) I) ketika gelombang revolusi tengah pasang, kelas buruh tengah berhasil merebut baik sektor industri maupun pabrik-pabrik dan menempatkannya di tangan kontrol buruh. Saat itu di Italia, partai kelas buruh diwakili oleh Partai Sosialis Italia (PSI), sayangnya PSI ini menunjukkan kecenderungan-kecenderungan reformis. Terhadap pergerakan kelas buruh sendiri, birokrat PSI ini malah ketakutan dan meninggalkan kelas buruh sendirian. Akibatnya pada November, bulan berikutnya, datang reaksi balik dari kelompok-kelompok bernama Skuadron Aksi yang dipersenjatai oleh tuan tanah besar menyisir desa hingga kota untuk menjalankan teror dan pembunuhan kepada kelas buruh serta menghancurkan gerakan progresif anti kapitalisme. Terhadap hal ini bagaimana reaksi birokrat PSI? Apakah mereka memutuskan untuk angkat senjata demi mempertahankan diri dan melawan balik? Tidak. Respon mereka adalah menyuruh agar kelas buruh mengembalikan pabrik-pabrik dan industri yang berhasil mereka sita dan menghindari pertempuran. Parahnya lagi birokrat PSI menggantungkan harapan pada raja Italia, Victor Emmanuel, yang pada kenyataannya telah memihak pada kelompok fasis tersebut. Dua tahun kemudian fasisme dengan pimpinannya, Benito Mussolini berkuasa penuh di Italia. Dimana Partai Komunis Italia (PK Italia) saat itu? Dibandingkan dengan PSI yang berdiri tahun 1892, PK Italia sangat muda. Ia baru berdiri pada tahun 1921 sebagai hasil perpecahan dengan PSI. Kebijakan-kebijakannya terhadap kebangkitan fasisme juga tidak kurang kelirunya dengan PSI. Mereka menganggap fasisme bukan ancaman, tidak mungkin merebut kekuasaan, dan tidak perlu membuat front luas dengan PSI dan kelompok lainnya untuk menghadang fasis tersebut. Ketidakmampuan menganalisis menghasilkan kepemimpinan yang salah. Kepemimpinan yang salah disini menyebabkan kegagalan gerakan kelas pekerja dalam menumbangkan kapitalisme dan dengan demikian sekaligus memberi jalan pada kebangkitan fasisme.[10]

Sedangkan dalam kasus di Jerman, kurang lebih keadaannya sama. Kelas buruh mayoritas diwakili oleh kaum sosial demokrasi (Sosdem) Jerman yang berhimpun dalam Partai Demokratis Sosial (PDS). Karena kecenderuangan reformis dan nasionalisnya, PDS ini menanggalkan perjuangan kelas dan malah mendukung keterlibatan Jerman dalam PD I. Tahun 1918 ketika PD I berakhir dengan kekalahan Jerman, kaum Sosdem ini takut bahwa revolusi sosial seperti yang terjadi di Rusia tahun 1917 akan menjalar ke Jerman. Sehingga untuk mencegah meletusnya revolusi merah mereka kemudian memutuskan bekerjasama dengan para kapitalis, tentara, dan bahkan dengan kelompok paramiliter sayap kanan “Freikorps”. Dengan demikian PDS sudah sejak dari pertama membantu melatih mereka yang kelak akan menjadi kader-kader Partai Nasional Sosialis (Nazi).[11].

Sementara itu Partai Komunis Jerman (PKJ) yang dibentuk oleh Rosa Luxembourg, Clara Zetkin, Karl Liebknecht, dan lainnya pada tahun 1918 sebagai transformasi dari Liga Spartakus juga mengalami kegagalan yang tak kalah tragis. Insurgensi Spartakus yang dilancarkan PKJ sebenarnya merupakan sebuah fait-accompli dimana pada unjuk rasa tertanggal 5 Januari 1919, sekelompok pekerja melakukan blokade jalan dan mengambil alih gedung surat kabar yang kerap memfitnah kelas buruh khususnya Vorwärts, organ milik PDS. Terhadap peristiwa ini PKJ dan Partai Demokratis Sosial Independen Jerman (PDSIJ)—pecahan dari PDS—memutuskan untuk mendukung blokade dan pengambilalihan tersebut dengan memobilisasi unjuk rasa lebih besar lagi sehingga sebanyak 500.000 orang pengunjuk rasa memenuhi pusat kota Berlin. Komite Revolusi yang terbentuk dari momentum kemudian gagal memberikan kepemimpinannya karena terjebak dalam perdebatan apakah aksi ini akan diarahkan untuk menuntut negosiasi dengan Fredrich Ebert[12] ataukah melanjutkannya pada perjuangan bersenjata. Selanjutnya perdebatan ini makin tak terdamaikan dan menyebabkan masing-masih pihak berjalan sendiri. PDSIJ memutuskan untuk negoisasi dengan Ebert dan PKJ meneruskan pada perjuangan bersenjata. Minimnya persiapan dan logistik khususnya pasukan dan persenjataan membuat perjuangan bersenjata ini dengan mudah dihancurkan. Terlebih karena PKJ tidak mengetahui keberadaan Freikorps dengan jumlah pasukan melebihi 2.100 orang yang dipersenjatai penuh dengan senapan, senapan mesin, dan mortir untuk menghancurkan pemberontakan kelas buruh ini. Terhadap komunis Jerman yang tertangkap atau menyerah, Freikorps langsung mengeksekusi tanpa mengadili. Perjuangan bersenjata kelas buruh kemudian ditumpas sepenuhnya pada 15 Agustus.

Selanjutnya Freikorps digunakan untuk menumpas setiap pergerakan kelas pekerja, baik itu pemogokan massa maupun unjuk rasa damai. Freikorps inilah yang kelak akan membentuk pergerakan Nasionalis Sosialis (NAZI). Hingga tahun 1921 semua peluang revolusi sosial di Jerman semakin tertutup seiring kekalahan kelas buruh Jerman. PDS tetap memegang kekuasaan sebagai pemenang pemilu yang dominan hingga 1924. Tahun 1928 krisis ekonomi kembali terjadi karena Jerman gagal membayar hutang untuk ganti rugi PD I. Ini diperparah dengan meletusnya Depresi Besar (Great Depression) di tingkat dunia pada tahun 1939. Popularitas PDS mulai turun. Hal ini diperparah dengan melejitnya jumlah pengangguran di Jerman hingga tiga juta orang. Berbeda dengan PDS PKJ mengalami pertumbuhan. Namun meski PKJ mengalami pertumbuhan, ini bukanlah sesuatu yang menggembirakan karena Partai NAZI malah mengalami pertumbuhan yang jauh lebih besar. Keanggotaan pasukan badai (storm-abteilung (SA)) yang merupakan transformasi dari freikorps sebagai organisasi sayap NAZI mengalami pelonjakan hingga 100.000 orang. Tak hanya itu, NAZI juga berhasil menarik donasi dari kalangan borjuasi untuk mendanai gerakannya.[13] Dalam ancaman fasisme tersebut, Komunis Internasional (Komintern) yang turut tercemar stalinisasi memberikan panduan salah bagi PKJ dengan menyatakan bahwa bahaya sebenarnya bukan dari NAZI melainkan kaum sosdem dari PDS. Komintern menyatakan bahwasanya Sosdem dan Fasis itu kembar dan melabeli Sosdem sebagai Sosial Fasis. Lebih parah, Komintern yang diamini PKJ menyatakan bahwa perjuangan mengalahkan fasis harus diundur setelah mengalahkan kaum Sosdem. Keputusan ini dibuktikan secara pahit ketika presiden Paul Von Hindenburg meninggal, Hitler kemudian merangkap jabatan kanselir dan presiden jerman yang baru sekaligus. Inilah awal dimana Hitler bersama NAZI berkuasa atas Jerman. Dimana kemudian semua anggota PKJ ditangkap, dijebloskan ke penjara, dan PKJ dinyatakan terlarang. Peristiwa ini, bersamaan dengan peristiwa kemenangan fasisme di Italia memberi pukulan telak pada kesalahan Komintern dan teori labelisasi Sosial-fasisnya. Segera pada Kongres Komintern di tahun 1939, Georgi Dimitrov, seorang stalinis Bulgaria mengajukan teori Front Popular. Komintern dan stalinis yang semula menentang persatuan dengan kelompok Sosdem untuk menghalau bahaya fasisme, kini terpaksa meminta persatuan dengan kalangan borjuasi liberal.

Sementara itu bagaimana dengan di Jepang? Kebangkitan fasisme di Jepang juga tidak lepas dari kegagalan kelas buruh untuk menghabisi kapitalisme. Perkembangan dan kejatuhan perjuangan kelas buruh di Jepang malah mengalami nasib yang lebih tragis daripada kelas buruh Jerman dan Italia. Gagasan sosialisme untuk perjuangan kelas buruh mulai berkembang di Jepang seiring dengan pelaksanaan industrialisasi Jepang sebagai bagian dari Restorasi Meiji. Sehingga gagasan-gagasan sosialisme mulai diterima secara luas karena relevansinya terhadap kenyataan:ketertindasan kelas buruh. Sayangnya kondisi obyektif lain muncul menghalangi karena rezim monarki absolut Jepang selalu memberangus dan menindas kelompok ini.

Memang sempat didirikan sebuah aliansi platform luas di bawah nama Liga Sosialis Jepang yang didirikan oleh Toshihiko Sakai dan Hitoshi Yamakawa dengan menghimpun kalangan intelektual, sosialis, bahkan kelompok anarkis. Basis keanggotaan dari kelas buruh yang berafiliasi dengan Liga Sosialis Jepang ini bahkan sempat mencapai 3.000 orang. Perbedaan pandangan khususnya dalam hal ideologi dan politik membuat kelompok ini tidak bisa mengambil langkah besar dan hana bisa melakukan propaganda kecil-kecilan sampai kemudian diberangus oleh rezim pada Mei 1921.

Kemajuan lain diperoleh ketika Komintern didirikan pada 1919 pasca kemenangan Revolusi Rusia 1917, dimana Partai Komunis Jepang (PK Jepang) didirikan dengan bantuan Komintern pada 15 Juli 1922. Sayangnya segera setelah itu mereka terjebak dalam perdebatan berkepanjangan. Perdebatan dalam PK Jepang berkutat seputar apakah Jepang masih dalam fase feodalisme ataukah sudah berada dalam kapitalisme. Ketidakmampuan menyelesaikan perdebatan dan segera menjalankan aksi konkret dalam perjuangan massa ini sekali lagi menghasilkan kemunduran di hadapan represi rezim.

Maka setelah panjang lebar mengulas fasisme di konteks internasional, saatnya kita membahasnya dalam konteks Indonesia. Dalam hal ini kita perlu membandingkan antara rezim Soeharto dengan rezim Susilo Bambang Yudhoyono. Rezim Soeharto dengan Orde Barunya bisa kita sebut sebagai sebuah rezim fasis. Mengapa demikian? Mari kita analisis melalui pendekatan ekonomi politik yang menyeluruh dalam Membedakan Rezim Fasis dengan Represif: Bagian 2 (Akhir) – Rezim Fasis dan Represif di Indonesia. (bersambung)

Refrensi:
[1] Simak sejumlah tulisan yang dimuat dalam rakyat merdeka online dengan judul, “Pengikut SBY Jangan Bela Cara-cara Fasis!”, kemudian di Lintas Berita bertajuk, “Antara SBY, Raja Jawa, dan Fasisme Jawa”, juga pernyataan sikap ATKI dan WALHI yang senada dalam memberikan label fasis kepada SBY.

[2] Wikipedia Inggris dalam artikel fasisme merumuskan definisi dan kesamaan karakteristik umum yang integral dalam fasisme dengan mengacu pada tujuh sumber. Pertama, Eatwell, Roger. 1996. Fascism: A History. New York: Allen Lane. Kedua, Griffin, Roger. 1991. The Nature of Fascism. New York: St. Martin’s Press. Ketiga, Nolte, Ernst The Three Faces Of Fascism: Action Française, Italian Fascism National Socialism, translated from the German by Leila Vennewitz, London: Weidenfeld and Nicolson, 1965. Keempat, Paxton, Robert O. 2004. The Anatomy of Fascism. New York: Alfred A. Knopf, ISBN 1-4000-4094-9. Kelima, Payne, Stanley G. 1995. A History of Fascism, 1914-45. Madison, Wisc.: University of Wisconsin Press ISBN 0-299-14874-2. Keenam, “populism,” Lihat: Fritzsche, P. 1990. Rehearsals for Fascism: Populism and political mobilization in Weimar Germany. New York: Oxford Univ. Press. Ketujuh, “collectivism.” Encyclopædia Britannica. 2007. Encyclopædia Britannica Online.

[3] Disini wikipedia Inggris mengacu pada empat literatur sebagai sumber dalam mencari hubungan antara fasisme dan sifat otoriter/totaliter. Pertama, David Baker, The political economy of fascism: Myth or reality, or myth and reality? New Political Economy, Volume 11, Issue 2 June 2006 , h. 227 – 250. Kedua, Triandis, Harry C.; Gelfand, Michele J. (1998). Converging Measurement of Horizontal and Vertical Individualism and Collectivism. Journal of Personality and Social Psychology 74 (1): 119. ; Collectivism. (2006). In Encyclopædia Britannica. Retrieved November 14, 2006, from Encyclopædia Britannica Online: http://www.britannica.com/eb/article-9024764. Ketiga, Calvin B. Hoover, The Paths of Economic Change: Contrasting Tendencies in the Modern World, The American Economic Review, Vol. 25, No. 1, Supplement, Papers and Proceedings of the Forty-seventh Annual Meeting of the American Economic Association. (Mar., 1935), pp. 13-20; Philip Morgan, Fascism in Europe, 1919-1945, New York Tayolor & Francis 2003, p. 168. Keempat, Friedrich A. Hayek. 1944. The Road to Serfdom. Routledge Press.

[4] Leon Trotsky, Borjuis, Borjuis Kecil, dan Proletariat, Sub-bab yang dikutip dari “Satu-Satunya Jalan Bagi Jerman”, ditulis pada September 1932, dipublikasikan di Amerika Serikat pada April 1933, dan disertakan dalam “Fasisme, Apa Itu dan Bagaimana Melawannya“, 1944.

[5] Van Lente, Fred. dan Dunlavey, Ryan. Filsuf Jagoan seri 2, Karl Marx, penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia, Desember 2007. Diterjemahkan oleh Rahmadianto, dari Action Philosophers Giant-Size Thing Volume 2, 2006.

[6] Coen Hussain Pontoh, Kapitalisme Relijius, ditampilkan dalam rubrik Analisis Ekonomi Politik, Jurnal Indo-Progress

[7] Marx, Karl, The Model Republic, 1849, sebagaimana dikutip dalam en.wikipedia.org/lumpenproletar

[8] Hayes, P., 1993, ‘Marx’s Analysis of the French Class Structure‘, Theory and Society, 22: 99–123., dikutip dalam en.wikipedia.org/lumpenproletar

[9] Lihat, en.wikipedia.org/lumpenproletar

[10] Leon Trotsky, Bagaimana Mussolini Meraih Kemenangannya, Sub-bab yang dikutip dari “Bagaimana Selanjutnya? Pertanyaan Vital bagi Kaum Proletar Jerman”, 1932, dipublikasikan di Amerika Serikat pada April 1933, dan disertakan dalam “Fasisme, Apa Itu dan Bagaimana Melawannya”, 1944.

[11] Leon Trotsky, On The Rise of Hitler and The Destruction of German Left, tanpa tempat, tanpa tahun, diakses di http://www.marxists.org/archive/trotsky/germany/index.htm.

[12] Fredrich Ebert adalah presiden pertama setelah Republik Jerman didirikan menggantikan monarki. Ebert merupakan pimpinan dari PDS, partai Sosdem Jerman yang memenangkan dominasi parlemen Jerman pasca PD I.

[13] Leon Trotsky, On The Rise of Hitler and The Destruction of German Left, tanpa tempat, tanpa tahun, diakses di http://www.marxists.org/archive/trotsky/germany/index.htm
sumber KLIKDISINI

Post a Comment Blogger

 
Top