0
PORTAL KNGB, Jakarta - Sebelumnya kita telah membahas secara mendetail baik secara kebahasaan maupun melalui analisis ekonomi politik untuk mendefinisikan ciri-ciri fasisme dan bagaimana kebangkitannya hingga keberhasilannya merebut kekuasaan. Kali ini pembahasan kita akan difokuskan dengan menggunakan analisis ekonomi politik. Sekali lagi alasan mengapa fasisme bisa bangkit dan berkuasa dibagi ke dalam dua faktor, faktor subyektif (internal) dan faktor obyektif (eksternal). Faktor obyektif meliputi 1) terjadinya krisis kapitalisme, 2) kepentingan kapitalisme untuk mempertahankan sistemnya membuatnya berseberangan tidak hanya dengan kelas proletar namun juga terhadap demokrasi, 3) serta kegagalan perjuangan kelas proletar untuk merebut kekuasaan dan menumbangkan kapitalisme. Sedangkan faktor subyektif terdiri atas 1) basis massa fasisme yang bertopang pada kelas borjuis kecil dan lumpen proletar serta pandangan kelas fasisme yang menentang perjuangan kelas dan menggantinya dengan kolaborasi kelas, 2) sistem ekonomi fasisme yang tidak anti kapitalisme melainkan menopang kapitalisme negara, 3) praktek politik fasisme (anti demokrasi, anti oposisi), 4) serta pandangan sosial-kebudayaannya yang membangun kultus (pemujaan) individu, membangun kultus (pemujaan) maskulinitas, berorientasi SARA (baik secara chauvinis maupun secara diskriminatif), serta menggunakan mitos-mitos kejayaan di masa lalu.

Dengan demikian tidak semua rezim represif atau kediktatoran bisa disebut fasis. Marilah kita tengok contoh-contoh kediktatoran dari beberapa rezim di negara-negara seperti Mesir, Saudi Arabia, dan Korea Utara. Rezim Gamal Abdul Nasser di Mesir bukan rezim fasis. Rezim itu adalah rezim Bonapartis. Sama dengan rezim Soekarno di masa Demokrasi Terpimpin. Rezim Saudi Arabia bukan pula rezim fasis. Saudi Arabia adalah rezim neo-feodal. Bagaimana dengan Korea Utara? Korea Utara juga bukan rezim fasis. Meskipun mengaku dan sering dilabeli berbagai pihak sebagai negara komunis, Korea Utara sesungguhnya adalah rezim monarki absolut. Begitulah label dan kenyataan seringkali memang tidak singkron tapi kita disini bukan untuk membahas negara-negara tersebut, kita disini untuk membahas Indonesia. Khususnya untuk menjawab pertanyaan, benarkah rezim SBY adalah rezim fasis seperti rezim Soeharto dan Orde Barunya?

Kini marilah kita bahas mengenai rezim fasis Soeharto dengan Orde Baru-nya untuk mengetahui bagaimana seluruh kriteria fasisme secara ekonomi politik dipenuhinya. Pertama, peristiwa G30S dan kontra revolusi yang menimpa kelas buruh Indonesia muncul setelah 1) terjadinya krisis kapitalisme. Krisis ini sebenarnya mengalami berbagai fase pendahuluan yang terjadi bahkan sebelum rezim Demokrasi Terpimpin berdiri. Mulai dari inflasi akibat beredarnya banyak sekali mata uang tidak hanya dari segi jumlah namun juga jenisnya. Mata uang Indonesia harus bersaing dengan peredaran mata uang cetakan rezim Jepang sebanyak empat milyar, mata uang belanda sebanyak 2 milyar, perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia, blokade laut oleh Belanda yang menghalangi perdagangan Indonesia dengan pihak luar negeri, rusaknya banyak lahan pertanian akibat eksploitasi di rezim fasis kolonial Jepang, kerugian akibat perjanjian KMB dimana Indonesia harus menanggung hutang-hutang dari pemerintah kolonial Hindia Belanda, munculnya karet sintetis yang menjadikan karet produksi Indonesia sebagai komoditas yang jatuh harganya, gagalnya Sistem Ekonomi Gerakan Benteng, kesalahan nasionalisasi sektor-sektor yang berdiri sejak masa kolonial baik kesalahan di tataran konsep maupun praktek, depresi ekonomi di AS dan Eropa Barat, sampai banyaknya pemberontakan, merupakan faktor-faktor yang memperparah krisis Indonesia sejak kemerdekaan di proklamasikan. Indonesia pada senjakala kekuasaan rezim Demokrasi Terpimpin bahkan mengalami inflasi hingga mencapai 650%.[1] Sebanyak 75% anggaran habis untuk pembelian senjata dan kasus kelaparan merebak dimana-mana. Di tengah krisis demikian gaya hidup penguasa rezim Demokrasi Terpimpin malah berada pada kemewahan yang akut. Alan Woods, dalam pengantar untuk Revolusi Permanen, yang diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Indonesia, menerangkan kondisi pertentangan ini dengan sangat tepat.

Rezim Bonapartis dari Soekarno dipenuhi dengan korupsi. Di tengah-tengah kemiskinan massal, upah rendah dan masalah perumahan yang besar, Soekarno dan elit-elitnya hidup seperti raja. Di bawah arahan Sukarno, sejumlah uang yang besar diboroskan untuk membangun gedung-gedung mewah seperti Hotel Indonesia di Jakarta, dimana, mengutip Sunday Times, “Tiga juta rakyat, yang kebanyakan miskin, tinggal … di rumah-rumah kumuh … yang kebanyakan akan runtuh”. Soekarno tinggal di sebuah vila putih – yang dulunya adalah tempat tinggal gubernur Belanda – dan dikelilingi dengan perabotan-perabotan mewah dan karya-karya seni yang mahal. “Tiga ruang utama yang megah tersebut tampak seperti museum dalam kebesarannya dan aurannya. Setiap ruang itu diperaboti dengan megah dan dikarpeti. Setiap ruang digantungi dengan sebagian dari koleksi lukisan megahnya Soekarno.”

Berikutnya kita akan membahas bagaimana 2) kepentingan kapitalisme untuk mempertahankan sistemnya membuatnya berseberangan tidak hanya dengan kelas proletar namun juga terhadap demokrasi. Retorika-retorika Demokrasi Terpimpin yang menyatakan bahwa revolusi Indonesia belum selesai dan hendak melanjutkannya pada revolusi sosial menuju Sosialisme Indonesia berbenturan dengan keputusan-keputusan yang salah dan kenyataan-kenyataan yang tak bersesuaian di kehidupan nyata khususnya terhadap antagonisme yang semakin menajam dari waktu ke waktu. Antagonisme antara kelas penindas dengan kelas tertindas. Antagonisme dari kelas borjuasi komprador, borjuasi nasional, maupun kelas tuan tanah dengan kelas-kelas yang ditindasnya. Di dalamnya juga termasuk antagonisme yang dirasakan oleh kelas buruh Indonesia.

Kelas buruh Indonesia sebagai lapisan paling bawah dan sebagai bagian yang menerima kerugian paling besar dalam krisis kapitalisme, dan dengan bertumbuhnya kesadaran politik seiring dengan tumbuhnya praktek perjuangan kelas mereka, mereka berusaha bergerak dengan menasionalisasi pabrik-pabrik dan sektor-sektor industri lainnya. Kesalahan fatal yang kemudian diambil adalah, perjuangan kelas buruh ini berusaha diredam baik oleh pemerintah maupun petinggi-petinggi PKI sendiri. Karena industri-industri yang dinasionalisasi melalui kerja keras kelas buruh selanjutnya ditempatkan bukan di tangan kontrol buruh melainkan di tangan kapitalis birokrat baik di tangan birokrat-birokrat pejabat pegawai negeri maupun di tangan para elit militer. Kerugian yang terjadi tidak hanya disebabkan ketidakcakapan kapitalis birokrat ini namun juga korupsi yang kemudian tumbuh subur bahkan setiap aktivitas serikat buruh dari perusahaan yang dinasionalisasi ini kemudian diberangus dan ditindas dengan kejam. Bahkan ketika larangan untuk mengadakan pemogokan dan aksi massa diberlakukan oleh rezim Demokrasi Terpimpin, para petinggi PKI malah menyetujui dengan anggapan terilusi bahwa pemerintahan Nasakom adalah pemerintahan mereka juga.

Kondisi yang sama, antagonisme yang semakin menajam, juga dirasakan oleh kaum tani Indonesia. Dengan tingginya tingkat monopoli tanah, tuntutan dan kepentingan untuk menjalankan reforma agraria semakin besar bagi kaum tani miskin dan buruh tani yang tak bertanah. Secara konstitusional, dan dengan demikian secara demokratis, tuntutan ini sudah dimenangkan dengan dirumuskannya Undang Undang (UU) Pokok Agraria (PA) tahun 1960 yang antara lain mengatur bahwa tidak diperbolehkan lagi adanya monopoli-monopoli tanah sekaligus di sisi lain memprioritaskan peruntukan tanah bagi petani sejati, petani-petani yang benar-benar menggarap tanah, bukan tuan tanah. Bagaimanapun juga perumusan UU PA tahun 1960 tersebut tidaklah menjamin pendistribusian tanah benar-benar terjadi dengan lancar. Sebaliknya hal itu malah menemukan dua ganjalan besar. Pertama, karena ada sabotase dari pejabat-pejabat negara di berbagai daerah yang berstatus kelas sebagai kapitalis birokrat dan bermentol feodal. Kedua, karena pertentangan hebat dengan kalangan tuan tanah, yang karena sudah kalah dalam berargumen secara ekonomi-politik, akhirnya terpaksa mempertahankan keberadaan kelasnya (sebagai kelas tuan tanah) mati-matian (karena mereka juga berada dalam krisis ekonomi) dengan menggunakan argumen-argumen keagamaan dan memobilisasi kalangan santri serta menuduh kaum tani miskin, kaum buruh tani, terutama yang tergabung dalam Barisan Tani Indonesia (BTI) dan juga PKI sebagai golongan atheis yang berusaha merusak Islam.[2]

Berikutnya bagaimanakah 3) kegagalan perjuangan kelas proletar untuk merebut kekuasaan dan menumbangkan kapitalisme? Hingga tahun 1965, perkembangan PKI mencapai tahap mencengangkan, terutama karena pernah mengalami kehancuran pasca pemberontakan Madiun 1948. PKI berhasil bangkit kembali dengan klaim keanggotaan sebesar tiga juta orang. Ironisnya besarnya kelas proletar dan kaum tani terorganisir tidak pernah dimobilisasi untuk merebut kekuasaan. PKI terilusi dan larut dalam pragmatisme hingga selalu berlindung kepada Soekarno meskipun sampai senjakala kekuasaannya retorika revolusioner Soekarno tetap tidak diikuti oleh praktek revolusioner pula justru ketika praktek itu paling dibutuhkan, ketika kontra-revolusi yang dilancarkan AD di bawah pimpinan Soeharto kian merangsek merebut kekuasaan dan seiring pembantaian yang semakin membesar dimana-mana. Bukannya memberikan seruan dan mengorganisir massa untuk melakukan pemogokan dan mempersenjatai diri, petinggi-petinggi PKI justru menginstruksikan massa untuk diam atau malah menjawab tidak tahu. Sebuah instruksi yang menunjukkan kesalahan kepemimpinan dan menggiring massa pada penjagalan massal[3].

Sedangkan dari segi faktor subyektif, banyak dari ciri tersebut juga dipenuhi. Misalkan 1) basis massa Soeharto benar-benar terdiri dari borjuasi kecil (mahasiswa anti komunis, santri anti komunis). Segi borjuasi kecil ini, khususnya mahasiswa yang menentang rezim demokrasi terpimpin, bahkan telah lama dibina sejak kepemimpinan militer Indonesia dipegang oleh Abdul Harris (AH) Nasution. Salah satunya adalah pendirian Resimen Mahasiswa di tiap kampus, dimana militer merekrut mahasiswa-mahasiswa di seluruh kampus di Indonesia, memberikan pendidikan dan pelatihan secara militer, untuk mengawasi dan menghambat gerakan revolusioner di tingkat mahasiswa. Khususnya PKI dan CGMI.[4]Sedangkan sisanya diorganisir sebagai reaksi cepat terhadap G30S melalui pembentukan organisasi-organisasi kesatuan di berbagai lini dalam sektor borjuis kecil secara langsung oleh pihak militer[5]. Di tingkatan mahasiswa ada Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI)[6], di tingkatan pelajar dibentuk Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia (KAPPI), bahkan di tingkat sarjana dibentuk Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia. Lantas bagaimana dengan massa lumpen proletar[7] yang juga merupakan basis massa fasisme? Lumpen proletar digalang oleh Angkatan Darat (di bawah pimpinan Soeharto) sekitar peristiwa G30S, dimana AD melatih kelompok pemuda dan pengangguran sekaligus mempersenjatai mereka.[8] Tidak sedikit juga kelompok yang dibentuk AD dengan merekrut kalangan preman dan kriminal. Dalam kasus di Indonesia tidakan mempersenjatai kelompok sipil ini berperan lebih besar daripada basis lumpen proletar itu sendiri. Antagonisme yang berlangsung karena aksi sepihak antara kelompok pendukung Reforma Agraria dan kelompok pembela tuan tanah itu sendiri merupakan api yang semakin bertambah besar sebelum kemudian disiram minyak oleh AD.

Berikutnya faktor 2) sistem ekonomi fasisme yang tidak anti kapitalisme melainkan menopang kapitalisme negara. Ketika Soeharto meraih kekuasaan dan mendirikan rezm fasis Orba, ia menjegal revolusi nasional dan semua tendensi revolusi sosial. Begitu PKI dan kelompok-kelompok pendukung Soekarno berhasil disingkirkan, ia meletakkan dasar-dasar agar kapitalisme ditegakkan kembali di Indonesia. Kali ini bukan untuk melayani Belanda melainkan untuk melayani imperialisme pimpinan Amerika Serikat (AS). Sebuah pertemuan antara wakil-wakil dari Indonesia antara lain Adam Malik, Sri Sultan hamengku Buwono IX, diadakan untuk berkonsultasi dengan wakil-wakil dari perusahaan-perusahaan imperialis dengan tujuan untuk mendapatkan dana hutang. John Pilger, seorang wartawan investigasi dari Australia menampilkan fakta ini dalam film dokumenternya The New Rulers of The World

Di tahun 1967, perusahaan Timelife mengadakan sebuah konferensi (Indonesian Investment Conference) di Swiss yang merencanakan pengambilalihan bisnis Indonesia. Konferensi ini dihadiri oleh para pebisnis besar dan terkuat di dunia, misalnya David Rockefeller. Raksasa kapitalisme Barat diwakili oleh perusahaan minyak, bank…General Motors, British Lyeland, ICI, British American Tobacco, Leman Brothers, American Express, Siemens. Di seberang meja dalam konferensi hadir para pemimpin Indonesia yang dikirim Soeharto. Bagi dunia bisnis Barat, hal ini merupakan awalan yang baik menuju globalisasi. Tidak seorangpun berbicara mengenai pembantaian satu juta manusia itu.”

Jeffrey Winters dari Univ. Northwestern, AS, menyatakan bahwa tidak pernah terjadi sebelumnya, ada pejabat-pejabat dari suatu negara bertemu dengan pengusaha seluruh dunia dan menentukan prasyarat untuk masuk ke negara itu. Konferensi itu berlangsung tiga hari. Hari pertama wakil Indonesia tampil memberikan uraiannya. Di hari kedua, mereka membaginya menjadi lima:pertemuan sektoral, pertambangan, jasa makanan, industri ringan, perbankan dan keuangan–Chase Manhattan juga hadir disana. Kemudian mereka menyusun kebijakan yang menguntungkan investor sedunia itu untuk masuk ke setiap sektor. Mereka berkata kepada para pemimpin Indonesia, ‘Inilah yang perlu kami lakukan, ini, ini ini’. Kemudian mereka menyusun infrastruktur hukum untuk kepentingan investasi mereka di Indonesia.

Meskipun demikian kapitalisme yang dicangkokkan imperialisme di Indonesia bukanlah kapitalisme laissez-fairre dengan bertumpukan pada perdagangan bebas seperti di Eropa Barat dan AS. Sebaliknya kapitalisme yang diimplementasikan di Indonesia dalam rezim fasis Orba adalah kapitalisme negara yang bertumpu di atas sistem Setengah Jajahan dan Setengah Feodal (SJSF). Bertumpu di atas sistem monopoli tanah di segelintir kalangan tuan tanah feodal maupun tuan tanah baru di bawah perusahaan-perusahaan perkebunan yang bersekutu dengan kalangan kapitalis birokrat dan menjalin kerjasama dengan kroni-kroninya yang termasuk ke dalam kelas borjuasi komprador. Rezim fasis Orba pimpinan Soeharto tidak memulai hal ini dari nol melainkan dengan menumbuhkan, membangun, dan memperkuat sistem penindasan yang sebelumnya sudah ada. Dwi Fungsi yang memberi jalan bagi dominasi militer di pemerintahan rezim fasis Orba adalah konsep yang dikembangkan dari konsep Jalan Tengah ciptaan AH Nasution. Sedangkan keberadaan militer yang menguasai perusahaan-perusahaan dan industri-industri sehingga menjadi kelas kapitalis birokrat merupakan akibat kebijakan Demokrasi Terpimpin dimana perusahaan-perusahaan yang dinasionalisasi diserahkan pengelolaannya pada militer atau lebih tepatnya AD.

Selanjutnya rezim fasis Orba pimpinan Soeharto juga memenuhi kriteria 3) praktek politik fasisme (anti demokrasi, anti oposisi). Dibangunlah Golongan Karya (Golkar) sebagai kendaraan politik resmi rezim fasis Orba dengan dua partai pajangan atau dengan kata lain oposisi semu dan tak nyata, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan fusi paksa partai-partai Islam dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) sebagai hasil fusi paksa partai-partai sekuler dan partai-partai kristen. Dua partai pajangan ini selain petingginya diseleksi dan direstui Soeharto juga sering digembosi perkembangannya. Bahkan dalam Undang Undang Partai Politik yang dikeluarkan rezim fasis Orba, semua partai berada dalam pembinaan Menteri Dalam Negeri yang notabene adalah kader Golkar. Dominasi Golkar makin digdaya pula karena Golkar menuntut kewajiban kesetiaan pada semua pegawai negeri.

Selain hal-hal yang tersebutkan sebelumnya, contoh-contoh anti demokrasi ini merentang sangat lebar. Mulai dari pembunuhan terhadap Marsinah, pembunuhan terhadap wartawan Bernas, Udin, pembreidelan media massa, penggusuran lahan-lahan rakyat atas nama pembangunan dan kepentingan umum padahal yang dibangun adalah plaza, gedung perkantoran, lapangan golf, hingga taman hiburan seperti Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Praktek anti demokrasi ini sedemikian parahnya sehingga sebuah acara penyuluhan kepada para petani saja telah diatur apa saja pertanyaan yang akan diajukan pada Soeharto dan bagaimana Soeharto akan menjawabnya.

Kriteria terakhir yang juga terbukti adalah 4) pandangan sosial-kebudayaannya yang membangun kultus (pemujaan) individu[9], membangun kultus (pemujaan) maskulinitas[10], berorientasi SARA (baik secara chauvinis maupun secara diskriminatif), serta menggunakan mitos-mitos kejayaan di masa lalu. Rezim fasis Orba pimpinan Soeharto mengagungkan pandangan sosial-budaya sekaligus superioritas Jawa. Paham dan ajaran Jawa kemudian tidak hanya disebarluaskan ke berbagai daerah non-Jawa dan berusaha mempengaruhi budaya lain yang sudah ada namun juga diadopsi secara resmi ke dalam kehidupan kenegaraan. Superioritas ras Jawa diwujudkan dengan cara dominasi seluruh jabatan pemerintahan strategis, mulai dari pemerintahan pusat hingga pemerintahan daerah, baik di kalangan sipil maupun di kalangan militer, oleh orang-orang Jawa[11].

Fasisme selalu membawa dua sentimen dalam dirinya, yaitu chauvinisme di satu sisi dan rasisme di sisi yang lain. Terkait hal ini selain kaum komunis dan kelompok kiri, salah satu golongan yang paling didiskriminasikan oleh fasisme Orba sejak kebangkitannya adalah ras Tionghoa. Hal ini terjadi sejak Pembantaian 1965-1966 dan dengan seijin dinas intelijen AS yaitu CIA[12]. Tiga bulan pasca terjadinya G30S tepatnya pada 10 Desember 1965 meletuslah kerusuhan rasial yang diarahkan pada ras Tionghoa. Hal ini didahului oleh demonstrasi yang berubah menjadi serbuan massa pada Konsulat Republik Rakyat Tionghoa (RRT). Kebencian terhadap RRT yang dituduh sebagai sponsor dan penyandang dana dibalik G30S segera berkembang menjadi kebencian terhadap ras Tionghoa di Indonesia pada umumnya. Kerusuhan ini tidak terjadi hanya di Ibukota, Jakarta, saja melainkan juga menjalar ke kota-kota lain. KAPPI, organisasi sentris pemuda dan pelajar yang digalang AD, melakukan penyerbuan, pendudukan, dan pengambilalihan berbagai sekolah Tionghoa dimana-mana.[13]

Rasisme ini kemudian didukung dengan pengesahan di bidang hukum ketika rezim fasis Orba mulai berkuasa. Mulai dari pengeluaran PP No. 14/1967, berisi larangan kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat Tionghoa[14] di Indonesia, kemudian di tahun yang sama diikuti dengan surat edaran No. 06/Preskab/6/67, yang isinya menyatakan masyarakat Tionghioa harus mengubah namanya menjadi nama yang berbau Indonesia. Kemudian pada tahun 1996 rezim fasis Orba mengeluarkan surat edaran SE. 02/SE/Ditjen/PPG/K/988, yang melarang penerbitan dan percetakan tulisan/iklan beraksara dan berbahasa Tionghoa di depan umum[15]. Terkait hal ini, Leo Suryadinata, seorang peneliti di Institute of Southeast Asian Studies, Singapura, mengutip Frans H. Winarta, menyebutkan peraturan yang mengandung unsur diskriminasi sosial ini bahkan mencapai jumlah lebih dari 60 peraturan dan perundang-undangan[16].

Sedangkan di sisi lain memang harus diakui bahwa kapitalisme negara yang dibangun Soeharto juga merangkul beberapa kroninya yang berasal dari ras Tionghoa. Kroni-kroni yang merupakan kelas Borjuasi Besar sekaligus Borjuasi Komprador ini antara lain terdiri dari Prayogo Pangestu, Liem Sie Liong, Eka Tjipta, William Suryajaya serta Bob Hasan. Masuknya ras Tionghoa ke dalam kelas Borjuasi Besar Komprador ini sebenarnya bukanlah sebuah pengecualian dari sentimen rasialis fasisme Orba melainkan didasari kebutuhan Soeharto atas kemampuan bisnis kroninya sekaligus meletakkan mereka sebagai sasaran tembak potensial bilamana kelak di suatu hari muncul ketidakpuasan rakyat terhadap rezim dan menjelma menjadi amuk massa maka Soeharto akan dengan mudah membelokkannya pada sentimen SARA kembali seperti yang pernah dilakukan pada masa pembantaian 1965-1966. Hal ini segera menemui pembuktiannya pada senjakala kekuasaan Orba. Kemarahan rakyat akibat ketidakpuasan terhadap rezim fasis Orba dibelokkan menjadi sentimen SARA sehingga meletus kerusuhan di banyak tempat khususnya Situbondo, Tasikmalaya, dan Rengasdengklok. Kerusuhan ini mencapai puncaknya ketika kemarahan rakyat akibat penembakan-penembakan yang dilakukan militer terhadap mahasiswa dalam Tragedi Semanggi dan Tragedi Tri Sakti sekali lagi berhasil dibelokkan menjadi sentimen anti-Tionghoa. Kerusuhan rasialis ini berlangsung mulai dari 12 hingga 15 Mei di berbagai kota. Dalam kerusuhan ini lebih dari seratus perempuan Tionghoa mengalami pelecehan dan perkosaan. Sedangkan di sisi lain pertokoan dan usaha yang dimiliki oleh etnis Tionghoa dijarah dan dibakar. Dalam tempo yang singkat, puluhan ribu etnis Tionghoa lari keluar negeri. Tanpa keberadaan aparat keamanan, sejumlah besar kelompok yang terdiri dari laki-laki, perempuan, dan anak-anak menjarah dan membakar sejumlah plaza dan pertokoan di kota-kota besar. Lebih dari 1.000 orang mati terbakar atau terjebak dalam plaza tersebut ketika kerusuhan berlangsung. Banyak saksi mata yang masih hidup menyatakan bahwa terdapat kelompok-kelompok yang mendorong, mengorganisir penjarahan, dan kemudian melakukan pembakaran ketika sejumlah besar orang sudah ada di dalam plaza dan pertokoan.[17] Banyak kalangan menilai hal ini merupakan salah satu operasi rahasia dari aparat militer di Indonesia[18].

Demikianlah penjelasan diatas telah menerangkan bahwa rezim Orba pimpinan Soeharto merupakan rezim fasis. Rezim tersebut mulai dari kebangkitan dan berkuasanya telah memenuhi semua faktor obyektif dan faktor subyektif. Dimana faktor obyektif meliputi 1) terjadinya krisis kapitalisme, 2) kepentingan kapitalisme untuk mempertahankan sistemnya membuatnya berseberangan tidak hanya dengan kelas proletar namun juga terhadap demokrasi, 3) serta kegagalan perjuangan kelas proletar untuk merebut kekuasaan dan menumbangkan kapitalisme. Sedangkan faktor subyektif terdiri atas 1) basis massa fasisme yang bertopang pada kelas borjuis kecil dan lumpen proletar serta pandangan kelas fasisme yang menentang perjuangan kelas dan menggantinya dengan kolaborasi kelas, 2) sistem ekonomi fasisme yang tidak anti kapitalisme melainkan menopang kapitalisme negara, 3) praktek politik fasisme (anti demokrasi, anti oposisi), 4) serta pandangan sosial-kebudayaannya yang membangun kultus (pemujaan) individu, membangun kultus (pemujaan) maskulinitas, berorientasi SARA (baik secara chauvinis maupun secara diskriminatif), serta menggunakan mitos-mitos kejayaan di masa lalu. Lantas bagaimanakah dengan rezim SBY? Apakah rezim SBY juga memenuhi kriteria tersebut?

Pertama, rezim SBY berkuasa tidak dalam krisis ekonomi akut baik seperti yang dialami Soeharto maupun Hitler dan Mussolini. Kedua, meskipun SBY merupakan representasi dari kapitalis birokrat sekaligus borjuasi komprador, ia tidak mampu mengangkangi demokrasi liberal untuk menghantam kelas buruh dan kaum tani yang memperjuangkan kepentingan ekonomi-politiknya. Ketiga, SBY berkuasa ketika perjuangan massa khususnya pergerakan kelas buruh dan kaum tani baru kembali lagi setelah 32 tahun ditindas oleh tirani rezim fasis Orba. Sedangkan dalam segi faktor subyektif juga banyak ketidaksesuaian. Pertama, SBY tidak memiliki basis massa yang berasalkan dari kelas lumpen proletariat dan borjuasi kecil. Kedua, sistem ekonomi yang dijalankan rezim SBY bukanlah sistem ekonomi kapitalisme negara seperti di rezim fasis Orba melainkan sistem ekonomi kapitalisme berhaluan neo-liberal[19], meskipun sama-sama berdiri di atas sistem setengah jajahan dan setengah feodal. Ketiga, SBY bergerak dalam demokrasi liberal atau bisa kita sebut demokrasi borjuis dimana ia seringkali harus berkompromi baik dengan koalisinya maupun dengan oposisinya. Keempat dan terakhir, rezim SBY tidak sampai mencapai kultus individu meskipun menggunakan politik pencitraan dengan begitu gencar dan merupakan pribadi yang feodal. Terhadap permasalahan SARA sendiri, SBY pun berbeda dengan Soeharto, manakala Soeharto begitu gencar ‘nasionalisme’ Jawa dan obsesi neo-majapahitnya serta bersikap anti-Tionghoa, sebaliknya SBY cenderung lebih plural bahkan terbuka terhadap ras Tionghoa di Indonesia.

Demikianlah bagaimana rezim SBY tidak memenuhi kriteria sebagai rezim fasis. Memang tidak bisa kita pungkiri banyak elemen dari rezim fasis Orba masih utuh dan banyak orang-orangnya yang berkeliaran bebas karena agenda Reformasi gagal dan tenggelam di tengah jalan, bahkan dibajak oleh orang-orang Orba. Struktur komando ekstra teritorial juga masih utuh. Sedangkan di sisi lain keberadaan organisasi-organisasi paramiliter di luar pemerintah jelas merupakan peninggalan rezim fasis Orba dimana di senjakala kekuasaannya, Wiranto, salah satu jenderal Orba memberikan perintah untuk memobilisasi serta mempersenjatai milisi sipil atas nama Pam Swakarsa. Namun kita perlu pahami bahwa represifitas yang muncul dari aparatus-aparatus negara terhadap pergerakan rakyat saat ini tidak bersifat sentralis dan terkomando seperti yang ada pada rezim-rezim fasis termasuk pada rezim fasis Orba. SBY tidak bisa disebut berada di belakang semua konflik represi terhadap rakyat. Kasus sengketa tanah kaum tani yang tidak hanya memicu bentrokan dengan tuan tanah tradisional atau tuan tanah dalam bentuk perusahaan dan perkebunan swasta namun juga dengan institusi militer yang kemudian dihadapi dengan penindasan bersenjata bukanlah karena instruksi langsung SBY melainkan karena sisa-sisa fasisme Orba yang tidak sepenuhnya dihapus (termasuk keberadaan faksi-faksi di tubuh militer dan kepentingan politiknya yang masih eksis hingga kini)[20]. SBY di sisi lain juga tidak berada di balik organisasi paramiliter yang berbasis massa lumpen proletar tersebut baik kelompok seperti Front Pembela Islam (FPI), Pemuda Pancasila, Pemuda Panca Marga, Forum Betawi Rempuq (FBR), dan lain sebagainya. Bahkan dalam beberapa kasus dan insiden, keberadaan organisasi para-militer itu seringkali menyulitkan rezim SBY.

Meskipun rezim SBY bukanlah rezim fasis, bukan berarti SBY adalah rezim demokratis. Sebaliknya rezim SBY merupakan rezim penindas dan bertindak sebagai rezim bonekea kepanjangan tangan imperialis asing pimpinan AS. Banyak kemajuan yang diperjuangkan rakyat berhasil diwujudkan pada perumusan peraturan-peraturan hukum penjamin kebebasan dan demokrasi, yang sayangnya pada kelanjutannya malah dihambat dengan perumusan peraturan yang membatasinya. Misalnya UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP) dan UU Kebebasan Pers di kemudian hari dihambat dengan UU Intelijen dan UU Rahasia Negara. Begitu pula dengan kian dibukanya Indonesia sebagai pasar bebas dengan perjanjian-perjanjian asing termasuk melalui Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN+3 dan KTT Asia Timur, sehingga tidak hanya mematikan industri lokal dan industri kecil di Indonesia melainkan juga memukul kelas pekerja khususnya kelas buruh dan kaum tani. Hal ini semua tidak bisa dihadapi hanya dengan gerakan moral atau gugatan hukum, melainkan harus dilawan dengan perjuangan kelas.

Demikianlah perjuangan kelas di Indonesia saat ini tetap relevan dilakukan. Perjuangan kelas melawan penindasan imperialisme yang bersekutu dengan kapitalisme-birokrat, borjuasi besar komprador, dan kaum-kaum feodal di Indonesia. Perjuangan kelas yang hanya bisa dilakukan untuk memperjuangkan hak-hak kelas tertindas, melalui persatuan perjuangan kelas pekerja, mahasiswa, kaum miskin kota, serta kaum perempuan Indonesia, dalam suatu front aliansi multi-sektoral yang dipimpin kelas buruh dan disatukan program hasil analisis kelas yang tajam dan yang tidak mudah terjebak melontarkan label fasis secara membabi buta pada semua praktek represifitas.

Referensi:
[1] Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Kategori:Ekonomi_Indonesia

[2] Alex De Jong, Indonesia: Mengingat Pembunuhan Massal, 29 September 2011, diambil dari International View Point, diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Zely Ariane, dan dimuat dalam Koran Pembebasan, koranpembebasan.wordpress.com, media resmi Partai Pembebasan Rakyat.

[3] Jumlah korban pembantaian sebenarnya tidak diketahui pasti. Berbagai sumber menyebutkan versi masing-masing. Mulai dari tim AD yang menyatakan jumlah korban sebanyak 78.000 orang, The New York Times yang menyatakan 150.000 hingga 400.000 orang, The Washington Post yang menyatakan sebanyak 500.000 orang, hingga Sarwo Edhi dari RPKAD yang memimpin perburuan dan pembantaian terhadap komunis atau diduga komunis, yang menyatakan sendiri jumlah menurutnya sebesar 3.000.000.000 orang.

[4] MENWA dibentuk A.H. Nasution namun baru dilegalisasi pada tahun 1963 melalui keputusan bersama WAMPA HANKAM dan Menteri PTIP Nomor : M/A/20/63 tentang Pelaksanaan Wajib Latih dan Pembentukan Resimen Mahasiswa di Perguruan Tinggi. Peran MENWA ini berlanjut di rezim fasis Orde Baru untuk mengawasi dan meredam tiap pergolakan mahasiswa di kampus. Sumber: Dokumen Materi Induk MENWA.

[5] Syarief Thayeb seorang Mayor Jenderal sekaligus Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pendidikan merupakan wakil dari militer yang bertanggungjawab untuk mengorganisir semua elemen organisasi mahasiswa anti komunis. Tepatnya pada tanggal 25 Oktober 1966, Syarief Thayeb berhasil menggalang dan mengonsolidasi antara lain Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Perhimpunan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Sekretariat Bersama Organisasi-organisasi Lokal (Somal), Mahasiswa Panca Mapancas, dan IPMI berhasil dikonsolidasi dalam satu wadah KAMI.

[6] Banyak orang dari KAMI ini kemudian naik kelas dari borjuasi kecil menjadi kapitalis birokrat dan masuk ke dalam lingkaran kekuasaan fasis Orde Baru, di antaranya adalah Cosmas Batubara (mantan Ketua Presidium KAMI Pusat), Sofyan Wanandi, Yusuf Wanandi (bersama dengan Cosmas Batubara, ketiganya merupakan kader PMKRI), serta Akbar Tanjung (HMI).

[7] Lumpenproletariat merupakan bentuk jamak dari lumpenproletarian (sebuah kata dari bahasa Jerman yang berarti harafiah, “proletar compang-camping”), dan didefinisikan pertama kali oleh Karl Marx dan Engels dalam Ideologi Jerman (1845) dan kemudian dielaborasikan lebih jauh dalam karya-karya lain Marx. Istilah ini sesungguhnya dilontarkan Marx untuk mendeskripsikan bahwa suatu lapisan dari kelas pekerja, tidak mungkin mencapai kesadaran kelas, terlepas dari produksi yang secara sosial bermanfaat, dan karena itu tidak berguna dalam perjuangan revolusioner atau malah menjadi penghalang bagi perwujudan masyarakat tanpa kelas Lihat Marx, Karl, The Model Republic, 1849, sebagaimana dikutip dalam en.wikipedia.org/lumpenproletar . Sedangkan Alan Woods di sisi lain berkomentar bahwa kaum proletar gelandangan ini selalu membuat usaha yang menguntungkan diri sendiri di setiap kekacuan, mereka membakar dan menjarah.

[8] Lihat Ibrahim Isa, SUPERSEMAR – Suatu Legitimasi Kup terhadap Presiden Soekarno, Jumat 10 Maret 2006, diakses di miis wanita-muslimah.

[9] Perhatikan bagaimana Orba melakukan politik pencitraan secara terus menerus melalui berbagai media dan institusi terhadap Soeharto. Gelar Bapak Pembangunan dicantumkan dimana-mana. Selain itu jasa-jasa Soeharto (bersama itu juga militer AD) dibesar-besarkan sampai dimasukkan ke dalam pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) sembari mengecilkan peranan orang-orang lain terutama dari kubu Soekarno, Demokrasi Terpimpin, dan kalangan kiri sosialis-komunis. Termasuk penciptaan lagu yang memuja-muji Soeharto hingga penamaan bukit Soeharto di Papua serta penamaan Anggrek Ibu Tien, dan masih banyak lagi.

[10] Gerakan perempuan dan perjuangan untuk kesetaraan gender mengalami kemajuan pesat hingga masa Demokrasi Terpimpin. Perjuangan untuk upah setara, hak cuti haid, hak cuti melahirkan, pendirian tempat-tempat penitipan anak, hingga penentangan terhadap poligami mewarnai gerakan perempuan di Indonesia. Begitu fasisme di Indonesia bangkit, menegakkan kekuasaan rezim Orba, dengan memfitnah Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), semua organisasi perempuan kemudian dibubarkan dan diganti dengan organisasi perempuan yang malah mengebiri hak-hak perempuan dan menempatkan perempuan ke bawah penindasan feodalisme. Hal ini tampak dengan dibentuknya organisasi-organisasi perempuan pemerintah seperti Darma Wanita, Darma Pertiwi, Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK) yang merupakan organisasi istri-istri dan atau ibu-ibu. Organisasi-organisasi macam ini nihil dari perjuangan kesetaraan gender dan perjuangan pembebasan perempuan. Agendanya seringkali hanya berkutat pada arisan, masak-memasak, kurus jahit-menjahit, dan lomba berbusana kebaya. Semua organisasi itu terkait dan terikat erat dengan jabatan suami mereka. Keakutan feodal di dalamnya begitu tinggi hingga sangat anti demokrasi mulai dari kebebasan berpendapat hingga mekanisme pemilihan pengurus yang begitu feodal. Kerap dijumpai kasus (bahkan hingga kini) pimpinan Darma Wanita di tingkat kota adalah istri wali kota dan di tingkat provinsi adalah istri gubernur. Jabatan itu begitu saja diraih secara otomatis karena otoritas suami. Keterikatan ini memang disengaja agar baik rezim maupun kaum patriarkis akan mudah sekali mengontrol dan menundukkan kaum perempuan ke bawah hegemoninya.

[11] Reforma Agraria yang dalam masa Demokrasi Terpimpin dimaksudkan untuk menjawab permasalahan kaum tani dan menghapus feodalisme ternyata kemudian dijegal oleh Rezim fasis Orba dan diganti dengan kebijakan transmigrasi secara salah dan keliru. Kebijakan transmigrasi ala Soeharto malah membawa bom waktu masalah karena transmigran yang dibekali dengan keahlian lebih tinggi cenderung lebih berhasil daripada penduduk lokal yang menjadi korban tidak meratanya pembangunan sehingga diantara keduanya menyimpan potensi gesekan konflik sosial.

[12] Lihat Eko Prasetyo dan Terra Bajraghosa, Awas Penguasa tipu rakyat, ISBN 979372381 – 5 (Yogyakarta: Resist Book, Januari 2006) hal. 42. Disini Eko Prasetyo mengutip Roland Challis, seorang petugas BBC yang menyatakan, “Salah satu sukses utama yang diinginkan pihak Barat adalah mengatur agar para politisi non komunis Indonesia percaya bahwa sumber komunisme yang utama adalah minoritas orang Tionghoa di Indonesia. Ini dapat merubah situasi menjadi masalah etnis. Memang sangat mengerikan melakukan hal ini, yang saya maksud cara-cara menghasut orang-orang Indonesia untuk bangkit dan menganiaya orang-orang Tionghoa…yang dipaksa memasuki kerangka berpikir semacam itu. Orang-orang Indonesia harus diyakinkan bahwa orang-orang Tionghoa yang jahat inilah sesungguhnya komunis…”

[13] Idem

[14] Patut diketahui bahwa rezim fasis Orba mengganti istilah yang digunakan rezim Demokrasi Terpimpin dalam mengacu pada “Tionghoa” sebagai ras dan “Tiongkok” sebagai negara dengan satu istilah yang menyamakan keduanya, “Cina”.

[15] Lihat Tim Redaksi Tempo, Setelah Enam Belas Abad, Majalah Tempo edisi Khusus 17 Agustus, No. 25/XXXIII/16-22 Agustus 2004 (Jakarta:Tempo, 2004) hal. 36-37.

[16] Leo Suryadinata, Etnis Tionghoa Sejak Reformasi, Kolom, Majalah Tempo edisi Khusus 17 Agustus, No. 25/XXXIII/16-22 Agustus 2004 (Jakarta:Tempo, 2004) hal. 38-39.

[17] Lihat http://en.wikipedia.org/wiki/Legislation_on_Chinese_Indonesians

[18] Militer khususnya Kopassus dianggap bertanggung jawab terhadap kegiatan penculikan dan penghilangan nyawa beberapa aktivis anti Orba. Keterlibatannya dibuktikan oleh hasil investigasi Tim Gabungan Pencari Fakta bahwa pada Peristiwa Mei 1998 terdapat bukti keterlibatan dimana organisasi terstruktur rapi dalam militer dengan sengaja dan maksud tertentu mengoordinir kerusuhan massa di Jakarta dan Surakarta dimana keduanya merupakan basis/markas Kopassus. Lihat. http://id.wikipedia.org/wiki/Komando_Pasukan_Khusus

[19] Sebagaimana yang diungkapkan James Petras, dibangkitkannya kembali liberalisme menemukan momentum yang tepat saat AS dihantam oleh krisis minyak. Krisis minyak yang terjadi pada tahun 1973 ini muncul sebagai hasil perlawanan negara-negara timur tengah terhadap AS yang mendukung Israel dalam perang Yom Kippur. Saat itu mayoritas negara-negara penghasil minyak di Timur Tengah melancarkan embargo terhadap AS dan negara-negara sekutu. Mereka juga melipatgandakan harga minyak dunia, yang selanjutnya memicu perselisihan dan pertengkaran kalangan elit politik di negara-negara sekutu Amerika Serikat tentang angka pertumbuhan ekonomi, beban bisnis, dan beban biaya-biaya fasilitas negara untuk rakyatnya. Demi menyelamatkan kapitalisme, maka Keynesianisme kemudian disingkirkan dan neo-liberalisme pun memenangkan dominasinya.

Neo-liberalisme sebagai ideologi dan ilmu ekonomi terkini dari kapitalisme bisa didefinisikan sebagai paham yang menuntut agar kebebasan individu berjalan maksimal dan campur tangan pemerintah dalam kehidupan ekonomi berada pada ambang batas seminimal mungkin. Neo-liberalisme mengembalikan penentu utama dalam kehidupan ekonomi kepada mekanisme pasar.

Karena menekankan pada mekanisme pasar tentu elemen penting dari neo-liberalisme yang tidak boleh dilupakan adalah perdagangan bebas atau pasar bebas. Perdagangan bebas menuntut akan penjualan produk antar negara yang berlangsung tanpa pajak ekspor-impor atau hal-hal yang dianggap membuat perdagangan tidak bebas atau dengan kata lain menyingkirkan semua hambatan perdagangan. Secara garis besar neo-liberalisme bisa dijabarkan dalam beberapa karakteristik sebagaimana berikut: 1) Hukum pasar, kebebasan bagi kapital, barang dan jasa sehingga pasar bisa mengatur dirinya sendiri agar gagasan “tetesan ke bawah” dapat mendistribusikan kekayaan. Juga mencakup upaya agar tenaga kerja tak diwakili oleh serikat buruh dan menyingkirkan semua hambatan yang membatasi mobilitas kapital, seperti peraturan-peraturannya. Kebebasan tersebut harus diberikan oleh negara atau pemerintah. 2) Mengurangi (anggaran negara untuk) pembelanjaan publik untuk pelayanan-pelayanan sosial seperti pelayanan kesehatan dan pendidikan yang disediakan oleh pemerintah. 3) Deregulasi, agar kekuatan pasar bisa bekerja menurut mekanisme aturannya sendiri. 4) Menghentikan subsidi bagi rakyat dalam pengadaan pangan, pupuk, BBM, listrik, telekomunikasi, dan lain-lain. 5) Privatisasi. Menjual perusahaan-perusahaan milik negara kepada pihak swasta. Hal ini termasuk bank-bank, industri-industri strategis, sekolah, rumah sakit, bahkan air bersih. 6) Mengubah persepsi baik tentang publik dan komunitas menjadi individualisme dan tanggung jawab pribadi.

[20] Militer di Indonesia pada senjakala rezim fasis Orba khususnya setelah pengunduran diri Soeharto menampakkan faksi-faksi yang berseberangan satu sama lain, terutama menyangkut masa depan Dwi Fungsi ABRI ketika dihadapkan dengan tuntutan Reformasi. Faksi pertama menghendaki TNI menjadi militer profesional seperti posisi militer di AS yang hanya berperan sebagai alat pertahanan negara. Sedangkan faksi kedua menghendaki untuk mempertahankan militer Indonesia sebagai kekuatan sosial politik yang dominan namun bukan sebagai penjaga rezim. Tokoh-tokoh dari faksi pertama meliputi antara lain:Susilo Bambang Yudhoyono, Agus Widjojo, dan Agus Wirahadikusumah. Sedangkan tokoh-tokoh dari faksi kedua mencakup Tyasno Sudarto serta Jenderal dari kalangan konservatif seperti Djaja Suparman. Posisi SBY dalam faksionalisme ini turut membantah labelisasi SBY berada pada ekstrim-kanan atau fasis. Lihat Tim Redaksi Tempo, Jalan Bersimpang Para Jenderal, Majalah Tempo edisi 17-23 Mei 2010, Liputan Khusus 10 Tahun Reformasi TNI, ISSN 0126-4273 SIUPP No. 354/SK/MENPEN/SIUPP/1998 (Jakarta:Tempo, 2010) hal. 64-65. 
sumber: KLIK DISINI

Post a Comment Blogger

 
Top