0

PORTAL KNGB, Jakarta - KAUM buruh Indonesia baru saja melakukan Mogok Nasional pada 31 Oktober – 1 November 2013. Tuntutan utama mereka, kenaikan upah minimum secara nasional minimal 50 persen dan UMP DKI Jakarta Rp. 3,7 juta. Meski Mogok Nasional sudah selesai, tetapi aksi-aksi untuk menuntut kenaikan upah masih berlanjut. Sampai tulisan ini dibuat, belum semua provinsi, apalagi kota atau kabupaten, menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP) atau Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK). Di daerah-daerah yang sudah menetapkan upah minimum pun, ada juga yang penetapannya masih ditolak oleh kaum buruh di daerah yang bersangkutan. Contohnya, UMP DKI Jakarta sebesar Rp. 2,4 juta yang masih ditolak oleh para buruh di Jakarta.

Dalam kesempatan ini, saya hendak membahas posisi perjuangan upah dalam kapitalisme dengan berangkat dari karya Marx, Value, Price and Profit. Karya ini berisikan pidato Marx di sidang Dewan Umum Internasional Pertama pada 20 dan 27 Juni 1865. Saat itu, sedang terjadi pemogokan-pemogokan di Eropa daratan untuk menuntut kenaikan upah. Dalam sidang Dewan Umum tanggal 4 April 1865, John Weston, salah seorang perwakilan buruh Inggris, mengajukan pendapat yang menentang gerakan kenaikan upah. Salah satu pendapat Weston mirip dengan pendapat sebagian kelas menengah Indonesia saat Mogok Nasional, bahwa kenaikan upah akan menyebabkan kenaikan harga. Dalam pidatonya, Marx membantah pendapat-pendapat Weston. Pidato Marx baru diterbitkan oleh Eleanor Aveling, salah seorang anak perempuannya, setelah Marx dan Engels meninggal dunia. Edisi Inggrisnya diberi judul Value, Price and Profit, sementara edisi Jermannya berjudul Wages, Price and Profit. Karya ini terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama, yang terdiri dari Bab I-V, berisikan polemik Marx dengan Weston. Sementara bagian kedua, yang terdiri dari Bab VI-XIV, berisikan pembahasan tentang teori nilai kerja yang menjadi landasan dari bantahan Marx terhadap Weston, serta mengenai posisi upah dan perjuangan upah dalam kapitalisme. Dalam tulisan ini, kita akan terlebih dahulu membahas polemik Marx dengan Weston dalam hal kenaikan upah dan harga, baru setelah itu masuk ke pembahasan teori nilai kerja Marx dan posisi upah serta perjuangan upah dalam kapitalisme.


Marx vs. Weston: Kenaikan Upah dan Kenaikan Harga Weston sebenarnya memiliki beberapa pendapat tentang upah. Namun, tidak semuanya akan kita bahas di sini. Marx sendiri tidak membahas semua pendapat Weston. Misalnya, setelah membantah pendapat Weston yang menyatakan bahwa jumlah uang yang beredar (currency) itu konstan, sehingga berbenturan dengan keperluan pembayaran kenaikan upah, Marx tidak lagi merasa perlu menanggapi pendapat Weston yang menyatakan bahwa penurunan jumlah uang yang beredar akibat kenaikan upah akan mengakibatkan penurunan keuntungan. Di sini, kita hanya akan membahas polemik Marx terhadap pendapat Weston yang menyatakan bahwa kenaikan upah akan menyebabkan kenaikan harga. Pasalnya, pendapat ini mirip dengan pendapat sebagian kelas menengah Indonesia saat Mogok Nasional.
 
Pendapat Weston tentang kenaikan upah yang menyebabkan kenaikan harga bersandar pada premis bahwa jumlah upah riil itu konstan. Karena jumlah upah riil konstan, maka kenaikan upah nominal buruh tidak akan berpengaruh pada daya beli upah buruh. Nilai komoditi yang bisa dibeli buruh tetap sama seperti sebelum kenaikan upah. Tapi, ini berarti harga komoditi juga naik. Misalnya, upah buruh yang tadinya Rp. 2 juta bisa membeli komoditi X yang harganya Rp. 2 juta, tetapi tidak bisa membeli komoditi Y yang harganya Rp. 2,2 juta. Setelah upah naik sebesar 10 persen menjadi Rp. 2,2 juta, buruh tetap tidak bisa membeli komoditi Y, karenanya harganya juga naik 10 persen menjadi sekitar Rp. 2,4 juta. Dengan kenaikan upah itu, buruh tetap hanya bisa membeli komoditi X yang harganya juga naik 10 persen menjadi Rp. 2,2 juta. Begitu kira-kira logika Weston.

Kenapa harga harus naik? Karena jumlah upah riil harus konstan, sehingga agar tetap konstan, jika ada kenaikan upah nominal, harga harus naik. Tetapi, kenapa upah riil harus konstan? Weston tidak memberikan penjelasan berdasarkan hukum-hukum ekonomi tertentu, sehingga seakan-akan hal itu terjadi hanya karena kemauan para kapitalis. Bagi Marx, penjelasan seperti itu bersifat arbitrer. Memang benar bahwa para kapitalis menginginkan keuntungan sebesar mungkin, tapi tindakan mereka juga dibatasi oleh hukum-hukum ekonomi kapitalisme.
Bersambung, selanjutnya KLIK DISINI
Oleh: Mohamad Zaki Hussein
Anggota Partai Rakyat Pekerja (PRP), Redaktur Pelaksana Left Book Review (LBR)
Diterbitkan ulang untuk pendidikan dari Indoprogress.com

Post a Comment Blogger

 
Top