PORTAL KNGB, Jakarta - ....Sebagai bantahan terhadap pendapat Weston, Marx menjelaskan kenapa kenaikan upah tidak akan berakibat pada kenaikan harga. Ada dua jenis argumen Marx. Argumen pertama berangkat dari faktor penawaran-permintaan di pasar. Argumen kedua mengesampingkan faktor penawaran-permintaan di pasar dan murni bersandar pada teori nilai kerja. Di bagian ini, kita akan membahas argumen yang pertama, sementara argumen kedua akan dibahas ketika kita membahas posisi perjuangan upah dilihat dari teori nilai kerja Marx.
Menurut Marx, kenaikan upah memang bisa berakibat pada kenaikan permintaan barang-barang kebutuhan hidup, sehingga harga pasar dari barang-barang kebutuhan hidup bisa naik. Di sini, para kapitalis yang memproduksi barang-barang kebutuhan hidup relatif tidak mengalami penurunan keuntungan, karena kenaikan upah di sektor industri ini diimbangi oleh kenaikan harga. Namun, tidak demikian untuk para kapitalis yang memproduksi barang-barang mewah. Karena permintaan dan harga barang-barang mewah tidak naik, keuntungan mereka pun turun akibat kenaikan upah. Dan di tengah situasi ini, mereka juga harus menghadapi naiknya harga barang-barang kebutuhan hidup. Akibatnya, mereka akan mengurangi pembelian barang-barang mewah, sehingga permintaan barang-barang mewah akan turun dan harganya juga turun.
Dengan demikian, para kapitalis yang memproduksi barang-barang mewah akan mengalami penurunan keuntungan bukan hanya karena upah naik, tetapi juga karena harga barang-barang mewah turun. Sementara, keuntungan para kapitalis yang memproduksi barang-barang kebutuhan hidup relatif tidak terpengaruh oleh kenaikan upah. Artinya, terdapat perbedaan tingkat keuntungan di antara kedua sektor tersebut. Karena motif kapitalis adalah mencari keuntungan, maka para kapitalis di sektor barang mewah akan memindahkan kapitalnya—yang diikuti juga dengan perpindahan tenaga-kerja—ke sektor barang kebutuhan hidup. Akibatnya, penawaran di sektor barang kebutuhan hidup akan naik mengimbangi peningkatan permintaannya, dan penawaran di sektor barang mewah akan turun mengimbangi penurunan permintaannya. Walhasil, harga pun kembali ke tingkat semula dan tingkat keuntungan di kedua sektor menjadi relatif sama, yakni lebih rendah dari sebelumnya.
Jadi, kenaikan harga barang kebutuhan hidup hanya sementara, dan hasil akhir dari kenaikan upah adalah penurunan tingkat keuntungan secara umum. Namun, penjelasan di atas didasarkan pada asumsi bahwa buruh hanya membeli barang kebutuhan hidup dan tidak membeli barang mewah. Bagaimana jika buruh juga membeli barang mewah? Menurut Marx, hasilnya malah tidak akan terjadi kenaikan harga secara sementara. Pasalnya, tidak akan ada kenaikan permintaan agregat. Yang terjadi hanyalah naiknya permintaan buruh atas barang mewah. Namun, karena keuntungan kapitalis menurun akibat kenaikan upah, maka kenaikan permintaan buruh atas barang mewah akan diimbangi oleh turunnya permintaan kapitalis atas barang mewah. Walhasil, permintaan agregat dan harga tidak mengalami perubahan sama sekali.
Selain bantahan yang bersifat teoritik, Marx juga berusaha menguatkan bantahannya dengan data empiris. Marx mengambil contoh kenaikan upah di Inggris selama tahun 1849-1859 setelah disahkannya Rancangan Undang-Undang Sepuluh Jam (Ten Hours Bill). Kenaikan upah ini disebabkan oleh berkurangnya waktu kerja menjadi 10 jam. Sebelumnya, buruh di Inggris bekerja selama 12 jam. Pada 1849-1859, tingkat upah buruh pertanian rata-rata mengalami kenaikan sekitar 40 persen. Namun, harga gandum yang merupakan produk pertanian utama Inggris saat itu, malah turun lebih dari 16 persen. Jadi, kenaikan upah saat itu malah dibarengi dengan turunnya harga.
Kelas menengah Indonesia yang menganggap kenaikan upah akan menyebabkan kenaikan harga, mungkin tidak memiliki premis yang sama dengan Weston, bahwa upah riil harus konstan. Di zaman dimana perbedaan antara nilai dan harga tidak lagi dikenal, mereka sepertinya berpikir bahwa kenaikan upah akan menyebabkan kenaikan harga, karena naiknya ongkos produksi. Tetapi, kenaikan harga akibat kenaikan ongkos produksi hanya dimungkinkan jika ada kenaikan permintaan. Para kapitalis tidak bisa memaksakan kenaikan harga secara sewenang-wenang ke pasar, karena pasar memiliki hukumnya sendiri. Jika upah naik, ongkos produksi naik, tetapi permintaan tidak naik, maka keuntungan kapitalislah yang akan turun. Tetapi, karena kenaikan upah cenderung meningkatkan permintaan buruh, maka bantahan Marx di atas juga berlaku untuk kelas menengah Indonesia. Namun, bagaimana dengan data empirisnya? Situasi kenaikan upah yang dibarengi dengan penurunan harga seperti di tahun 1849-1859 memang jarang terjadi di Indonesia masa kini. Tetapi, bukan tidak pernah. Dari data Badan Pusat Statistik (BPS), kita bisa lihat bahwa Indeks Harga Konsumen (IHK) dengan tahun dasar 1996 (IHK 1996 = 100), yang bisa menjadi indikator harga barang, mengalami penurunan pada bulan Maret-Juni 1999 dari 206,61 menjadi 203,87.
Menurut Marx, kenaikan upah memang bisa berakibat pada kenaikan permintaan barang-barang kebutuhan hidup, sehingga harga pasar dari barang-barang kebutuhan hidup bisa naik. Di sini, para kapitalis yang memproduksi barang-barang kebutuhan hidup relatif tidak mengalami penurunan keuntungan, karena kenaikan upah di sektor industri ini diimbangi oleh kenaikan harga. Namun, tidak demikian untuk para kapitalis yang memproduksi barang-barang mewah. Karena permintaan dan harga barang-barang mewah tidak naik, keuntungan mereka pun turun akibat kenaikan upah. Dan di tengah situasi ini, mereka juga harus menghadapi naiknya harga barang-barang kebutuhan hidup. Akibatnya, mereka akan mengurangi pembelian barang-barang mewah, sehingga permintaan barang-barang mewah akan turun dan harganya juga turun.
Dengan demikian, para kapitalis yang memproduksi barang-barang mewah akan mengalami penurunan keuntungan bukan hanya karena upah naik, tetapi juga karena harga barang-barang mewah turun. Sementara, keuntungan para kapitalis yang memproduksi barang-barang kebutuhan hidup relatif tidak terpengaruh oleh kenaikan upah. Artinya, terdapat perbedaan tingkat keuntungan di antara kedua sektor tersebut. Karena motif kapitalis adalah mencari keuntungan, maka para kapitalis di sektor barang mewah akan memindahkan kapitalnya—yang diikuti juga dengan perpindahan tenaga-kerja—ke sektor barang kebutuhan hidup. Akibatnya, penawaran di sektor barang kebutuhan hidup akan naik mengimbangi peningkatan permintaannya, dan penawaran di sektor barang mewah akan turun mengimbangi penurunan permintaannya. Walhasil, harga pun kembali ke tingkat semula dan tingkat keuntungan di kedua sektor menjadi relatif sama, yakni lebih rendah dari sebelumnya.
Jadi, kenaikan harga barang kebutuhan hidup hanya sementara, dan hasil akhir dari kenaikan upah adalah penurunan tingkat keuntungan secara umum. Namun, penjelasan di atas didasarkan pada asumsi bahwa buruh hanya membeli barang kebutuhan hidup dan tidak membeli barang mewah. Bagaimana jika buruh juga membeli barang mewah? Menurut Marx, hasilnya malah tidak akan terjadi kenaikan harga secara sementara. Pasalnya, tidak akan ada kenaikan permintaan agregat. Yang terjadi hanyalah naiknya permintaan buruh atas barang mewah. Namun, karena keuntungan kapitalis menurun akibat kenaikan upah, maka kenaikan permintaan buruh atas barang mewah akan diimbangi oleh turunnya permintaan kapitalis atas barang mewah. Walhasil, permintaan agregat dan harga tidak mengalami perubahan sama sekali.
Selain bantahan yang bersifat teoritik, Marx juga berusaha menguatkan bantahannya dengan data empiris. Marx mengambil contoh kenaikan upah di Inggris selama tahun 1849-1859 setelah disahkannya Rancangan Undang-Undang Sepuluh Jam (Ten Hours Bill). Kenaikan upah ini disebabkan oleh berkurangnya waktu kerja menjadi 10 jam. Sebelumnya, buruh di Inggris bekerja selama 12 jam. Pada 1849-1859, tingkat upah buruh pertanian rata-rata mengalami kenaikan sekitar 40 persen. Namun, harga gandum yang merupakan produk pertanian utama Inggris saat itu, malah turun lebih dari 16 persen. Jadi, kenaikan upah saat itu malah dibarengi dengan turunnya harga.
Kelas menengah Indonesia yang menganggap kenaikan upah akan menyebabkan kenaikan harga, mungkin tidak memiliki premis yang sama dengan Weston, bahwa upah riil harus konstan. Di zaman dimana perbedaan antara nilai dan harga tidak lagi dikenal, mereka sepertinya berpikir bahwa kenaikan upah akan menyebabkan kenaikan harga, karena naiknya ongkos produksi. Tetapi, kenaikan harga akibat kenaikan ongkos produksi hanya dimungkinkan jika ada kenaikan permintaan. Para kapitalis tidak bisa memaksakan kenaikan harga secara sewenang-wenang ke pasar, karena pasar memiliki hukumnya sendiri. Jika upah naik, ongkos produksi naik, tetapi permintaan tidak naik, maka keuntungan kapitalislah yang akan turun. Tetapi, karena kenaikan upah cenderung meningkatkan permintaan buruh, maka bantahan Marx di atas juga berlaku untuk kelas menengah Indonesia. Namun, bagaimana dengan data empirisnya? Situasi kenaikan upah yang dibarengi dengan penurunan harga seperti di tahun 1849-1859 memang jarang terjadi di Indonesia masa kini. Tetapi, bukan tidak pernah. Dari data Badan Pusat Statistik (BPS), kita bisa lihat bahwa Indeks Harga Konsumen (IHK) dengan tahun dasar 1996 (IHK 1996 = 100), yang bisa menjadi indikator harga barang, mengalami penurunan pada bulan Maret-Juni 1999 dari 206,61 menjadi 203,87.
Bersambung... KLIK DISINI
Oleh: Mohamad Zaki Hussein
Anggota Partai Rakyat Pekerja (PRP), Redaktur Pelaksana Left Book Review (LBR)
Diterbitkan ulang untuk pendidikan dari Indoprogress.com
Post a Comment Blogger Facebook