PORTAL KNGB, Jakarta - ...Namun, upah nominal buruh industri di bawah mandor malah naik dari Rp. 290.570 menjadi Rp. 323.140. Upah nominal buruh hotel di bawah mandor juga naik dari Rp. 317.570 menjadi Rp. 333.000. Begitu pula, upah nominal buruh pertambangan di bawah mandor naik dari Rp. 857.570 menjadi Rp. 1.057.710. Hal serupa juga terjadi pada bulan Maret-Juni 2009.[1]
Nilai dan Harga Setelah berpolemik dengan Weston, Marx membahas nilai komoditi sebagai dasar untuk bisa memahami hakikat upah dan keuntungan. Salah satu ciri kapitalisme adalah pertukaran komoditi, dan komoditi yang dipertukarkan bisa dipertukarkan karena dianggap memiliki nilai yang sama. Tetapi, apa penentu nilai atau nilai tukar komoditi? Apa yang membuat dua komoditi bisa dipertukarkan? Menurut Marx, dua komoditi hanya bisa dipertukarkan apabila kedua komoditi itu mengandung entitas yang sama. Dan karena nilai tukar merupakan fungsi sosial dari komoditi, maka entitas yang menentukannya juga harus bersifat sosial, sehingga tidak ada kaitannya dengan aspek fisik dari komoditi.
Entitas sosial yang ada dalam semua komoditi adalah kerja. Untuk memproduksi sebuah komoditi, diperlukan kuantitas kerja tertentu. Dan yang dimaksud dengan kerja di sini adalah kerja sosial, yakni kerja yang memenuhi kebutuhan tertentu masyarakat, menjadi bagian dari total kerja masyarakat, dan tunduk di bawah pembagian kerja dalam masyarakat. Di sini, ada standarisasi kerja sesuai dengan kondisi produksi rata-rata masyarakat, intensitas kerja yang berlaku secara umum, dan ketrampilan rata-rata yang dibutuhkan, sehingga kerja di satu tempat bisa disamakan dengan kerja di tempat lain. Lalu, bagaimana kita bisa mengukur kuantitas kerja? Jawabannya adalah dengan waktu kerja.
Jadi, nilai sebuah komoditi ditentukan oleh waktu kerja rata-rata yang diperlukan untuk memproduksi komoditi tersebut. Namun, waktu kerja atau kuantitas kerja rata-rata yang diperlukan untuk memproduksi sebuah komoditi, tidaklah konstan. Kuantitas kerja itu berubah sesuai dengan produktivitas kerja, yang bergantung pada kondisi alam, peningkatan teknologi dan karakter sosial atau kooperatif dari kerja. Semakin tinggi produktivitas kerja, semakin banyak komoditi yang dihasilkan dalam waktu kerja tertentu, semakin sedikit kuantitas kerja yang terkandung dalam satu unit komoditi, semakin kecil nilai per satu unit komoditi. Semakin rendah produktivitas kerja, semakin sedikit komoditi yang dihasilkan dalam waktu kerja tertentu, semakin banyak kuantitas kerja yang terkandung dalam satu unit komoditi, semakin besar nilai per satu unit komoditi. Jadi, nilai sebuah komoditi berbanding terbalik dengan produktivitas kerja yang memproduksinya.
Selanjutnya, Marx membahas hubungan antara nilai dengan harga. Menurut Marx, harga adalah ekspresi moneter dari nilai. Tetapi, harga juga dipengaruhi oleh fluktuasi penawaran-permintaan, sehingga harga pasar selalu menyimpang dari nilainya, kadang di atas, kadang di bawah nilainya. Namun, penawaran-permintaan juga selalu saling mengimbangi satu sama lain, meski pengimbangan itu terjadi dengan cara dimana kenaikan dibalas dengan penurunan, dan demikian sebaliknya. Jika kita melihat fluktuasi harga dalam jangka panjang, maka kita akan menemukan adanya titik keseimbangan di sekitar mana harga bergravitasi. Ketika harga pasar sedang ada di titik keseimbangan ini, maka harga pasar sedang sesuai dengan nilainya. Dan karena penawaran-permintaan selalu saling mengimbangi, maka menurut Marx, semua komoditi rata-rata dijual sesuai dengan nilainya.
Hakikat Upah dan Keuntungan
Setelah membahas nilai, Marx pun membahas upah dan keuntungan. Untuk mengetahui hakikat upah, kita harus terlebih dahulu mengetahui apa yang sebenarnya dijual oleh buruh. Di sini, Marx membedakan antara kerja (labour) dan tenaga-kerja (labouring power). Value, Price and Profit tidak memberikan banyak penjelasan tentang perbedaan kerja dan tenaga-kerja. Namun, penjelasan mengenai perbedaan itu bisa kita temukan dalam Capital. Dalam Capital, Marx mendefinisikan tenaga-kerja atau yang ia sebut juga dengan kapasitas-kerja (labour-capacity) sebagai ’kumpulan kemampuan mental dan fisik yang ada dalam bentuk fisik, dalam pribadi yang hidup, dari seorang manusia.’[2] Sementara, kerja adalah kerja aktualnya, di mana tenaga-kerja digunakan. Yang dijual oleh buruh ke kapitalis bukanlah kerja, tetapi tenaga-kerja.
Upah, dengan demikian, adalah harga dari tenaga-kerja. Dan karena harga hanyalah ekspresi moneter dari nilai, maka upah hanyalah ekspresi dari nilai tenaga-kerja. Lantas, apa penentu nilai tenaga-kerja? Sama seperti komoditi lainnya, nilai tenaga-kerja ditentukan oleh kuantitas kerja rata-rata yang diperlukan untuk memproduksinya. Ada tiga komponen dari nilai tenaga-kerja: (1) kuantitas kerja yang diperlukan untuk memproduksi barang-barang kebutuhan hidup yang diperlukan untuk memelihara kehidupan si buruh, mengingat tenaga-kerja hanya bisa ada dalam individu yang hidup; (2) kuantitas kerja yang diperlukan untuk memproduksi barang-barang kebutuhan hidup yang diperlukan untuk membesarkan sejumlah anak tertentu yang akan menggantikan si buruh kelak di pasar tenaga-kerja setelah ia meninggal. Kapitalisme harus mempertahankan keberlangsungan ras pekerja untuk bisa terus beroperasi; (3) kuantitas kerja yang diperlukan untuk memperoleh ketrampilan tertentu dalam kasus tenaga-kerja terampil.
Kalau hakikat upah adalah kuantitas kerja atau waktu-kerja rata-rata yang diperlukan untuk memproduksi tenaga-kerja, maka apa hakikat dari keuntungan? Karena komoditi dijual sesuai dengan nilainya, maka keuntungan tidak mungkin berasal dari penjualan barang dengan harga di atas nilainya. Lagipula, dalam kapitalisme, setiap orang adalah pembeli sekaligus penjual, konsumen sekaligus produsen. Uang yang kita pakai untuk membeli sesuatu mesti kita dapatkan dari pihak lain. Jika seorang penjual mendapatkan keuntungan dari menjual barang di atas nilainya, maka ketika ia membeli barang dari penjual lain, penjual lain akan menerapkan hal yang sama ke dia, sehingga keuntungan yang ia dapatkan akan beralih ke penjual lain, dan demikian seterusnya. Mustahil keuntungan secara umum bisa diperoleh dengan cara seperti ini.
Keuntungan berasal dari jenis pertukaran yang khas antara kapital dan kerja. Katakanlah, waktu kerja yang diperlukan untuk memproduksi tenaga-kerja untuk sehari adalah 4 jam. Dan ekspresi moneter dari 4 jam kerja itu adalah Rp. 7000,-. Si kapitalis pun membeli tenaga-kerja dengan harga Rp. 7000,- per hari. Ketika si kapitalis membeli tenaga-kerja, ia memperoleh hak untuk mengonsumsi tenaga-kerja tersebut. Namun, tenaga-kerja hanya bisa dikonsumsi dengan membuat si buruh bekerja. Masalahnya, jika nilai tenaga-kerja dibatasi oleh waktu kerja yang diperlukan untuk memproduksi tenaga-kerja tersebut, penggunaan tenaga-kerja dibatasi oleh energi aktif dan kekuatan fisik si buruh. Karenanya, tenaga-kerja bisa menjalani waktu-kerja yang lebih besar dari waktu kerja yang diperlukan untuk memproduksi tenaga-kerja itu sendiri.
Kembali ke contoh kita di atas, meski waktu kerja yang diperlukan untuk memproduksi tenaga-kerja untuk sehari adalah 4 jam, tetapi batas maksimal waktu kerja yang bisa dijalani oleh tenaga-kerja tersebut dalam sehari, katakanlah, 8 jam. Seandainya si buruh bekerja tidak di bawah kapitalis, bisa saja ia hanya bekerja selama 4 jam sesuai dengan kebutuhan untuk mereproduksi tenaga-kerjanya. Tetapi, karena tenaga-kerjanya untuk sehari telah dibeli oleh si kapitalis, si kapitalislah yang berhak menentukan berapa lama ia bekerja. Dan si kapitalis akan membuat ia bekerja sampai batas maksimal yang bisa dia lakukan, yakni 8 jam. Jadi, ada 4 jam kerja tambahan di luar 4 jam kerja yang diperlukan untuk mereproduksi tenaga-kerjanya. 4 jam kerja tambahan ini pun menghasilkan nilai sebesar Rp. 7000,-. Marx menyebut nilai ini sebagai nilai surplus, dan nilai surplus tidak dikembalikan ke pekerja, melainkan menjadi keuntungan. 4 jam kerja tambahan ini, dengan demikian, adalah kerja buruh yang tidak dibayar. Jadi, hakikat keuntungan adalah nilai surplus yang dirampas dari buruh.
Celakanya, proses di atas sering tidak disadari, bahkan oleh buruh sendiri. Di sini, memang ada pengaburan kenyataan yang bekerja dengan canggih. Pertama, karena upah dibayarkan setelah buruh menyelesaikan kerjanya, si buruh melihat bahwa upah itu adalah harga atau nilai dari kerjanya. Padahal, upah adalah harga atau nilai dari tenaga-kerjanya, yang sudah ada dalam tubuh fisiknya sebelum ia bekerja. Kedua, terjadi percampuran antara kerja dibayar dengan kerja tidak dibayar, dimana keduanya dilakukan di satu tempat dengan waktu kerja yang bersambung. Akibatnya, keseluruhan kerja terlihat dibayar. Apalagi, pertukaran kapital-buruh dilakukan dengan kontrak yang membuat seolah-oleh semua ini dijalani buruh dengan sukarela. Ini berbeda dengan zaman feodal di Eropa, dimana terdapat pemisahan ruang dan waktu antara kerja petani-hamba yang dibayar dan tidak dibayar, sehingga terlihat secara kasat mata. Ketika petani-hamba bekerja untuk dirinya, ia melakukannya di waktu tertentu di tanahnya atau tanah yang dibagikan kepadanya, sementara kerja tak dibayar dilakukannya di waktu lain di tanah tuannya. Terkait nilai surplus atau keuntungan, perlu diklarifikasi bahwa yang dimaksud dengan keuntungan di sini berbeda dengan ’keuntungan bersih’ pengusaha yang dikenal dalam diskursus ekonomi kontemporer. Keuntungan bersih adalah nilai surplus yang sudah dikurangi dengan bermacam hal, seperti bunga utang, sewa tanah, bersambung... KLIK DISINI
Nilai dan Harga Setelah berpolemik dengan Weston, Marx membahas nilai komoditi sebagai dasar untuk bisa memahami hakikat upah dan keuntungan. Salah satu ciri kapitalisme adalah pertukaran komoditi, dan komoditi yang dipertukarkan bisa dipertukarkan karena dianggap memiliki nilai yang sama. Tetapi, apa penentu nilai atau nilai tukar komoditi? Apa yang membuat dua komoditi bisa dipertukarkan? Menurut Marx, dua komoditi hanya bisa dipertukarkan apabila kedua komoditi itu mengandung entitas yang sama. Dan karena nilai tukar merupakan fungsi sosial dari komoditi, maka entitas yang menentukannya juga harus bersifat sosial, sehingga tidak ada kaitannya dengan aspek fisik dari komoditi.
Entitas sosial yang ada dalam semua komoditi adalah kerja. Untuk memproduksi sebuah komoditi, diperlukan kuantitas kerja tertentu. Dan yang dimaksud dengan kerja di sini adalah kerja sosial, yakni kerja yang memenuhi kebutuhan tertentu masyarakat, menjadi bagian dari total kerja masyarakat, dan tunduk di bawah pembagian kerja dalam masyarakat. Di sini, ada standarisasi kerja sesuai dengan kondisi produksi rata-rata masyarakat, intensitas kerja yang berlaku secara umum, dan ketrampilan rata-rata yang dibutuhkan, sehingga kerja di satu tempat bisa disamakan dengan kerja di tempat lain. Lalu, bagaimana kita bisa mengukur kuantitas kerja? Jawabannya adalah dengan waktu kerja.
Jadi, nilai sebuah komoditi ditentukan oleh waktu kerja rata-rata yang diperlukan untuk memproduksi komoditi tersebut. Namun, waktu kerja atau kuantitas kerja rata-rata yang diperlukan untuk memproduksi sebuah komoditi, tidaklah konstan. Kuantitas kerja itu berubah sesuai dengan produktivitas kerja, yang bergantung pada kondisi alam, peningkatan teknologi dan karakter sosial atau kooperatif dari kerja. Semakin tinggi produktivitas kerja, semakin banyak komoditi yang dihasilkan dalam waktu kerja tertentu, semakin sedikit kuantitas kerja yang terkandung dalam satu unit komoditi, semakin kecil nilai per satu unit komoditi. Semakin rendah produktivitas kerja, semakin sedikit komoditi yang dihasilkan dalam waktu kerja tertentu, semakin banyak kuantitas kerja yang terkandung dalam satu unit komoditi, semakin besar nilai per satu unit komoditi. Jadi, nilai sebuah komoditi berbanding terbalik dengan produktivitas kerja yang memproduksinya.
Selanjutnya, Marx membahas hubungan antara nilai dengan harga. Menurut Marx, harga adalah ekspresi moneter dari nilai. Tetapi, harga juga dipengaruhi oleh fluktuasi penawaran-permintaan, sehingga harga pasar selalu menyimpang dari nilainya, kadang di atas, kadang di bawah nilainya. Namun, penawaran-permintaan juga selalu saling mengimbangi satu sama lain, meski pengimbangan itu terjadi dengan cara dimana kenaikan dibalas dengan penurunan, dan demikian sebaliknya. Jika kita melihat fluktuasi harga dalam jangka panjang, maka kita akan menemukan adanya titik keseimbangan di sekitar mana harga bergravitasi. Ketika harga pasar sedang ada di titik keseimbangan ini, maka harga pasar sedang sesuai dengan nilainya. Dan karena penawaran-permintaan selalu saling mengimbangi, maka menurut Marx, semua komoditi rata-rata dijual sesuai dengan nilainya.
Hakikat Upah dan Keuntungan
Setelah membahas nilai, Marx pun membahas upah dan keuntungan. Untuk mengetahui hakikat upah, kita harus terlebih dahulu mengetahui apa yang sebenarnya dijual oleh buruh. Di sini, Marx membedakan antara kerja (labour) dan tenaga-kerja (labouring power). Value, Price and Profit tidak memberikan banyak penjelasan tentang perbedaan kerja dan tenaga-kerja. Namun, penjelasan mengenai perbedaan itu bisa kita temukan dalam Capital. Dalam Capital, Marx mendefinisikan tenaga-kerja atau yang ia sebut juga dengan kapasitas-kerja (labour-capacity) sebagai ’kumpulan kemampuan mental dan fisik yang ada dalam bentuk fisik, dalam pribadi yang hidup, dari seorang manusia.’[2] Sementara, kerja adalah kerja aktualnya, di mana tenaga-kerja digunakan. Yang dijual oleh buruh ke kapitalis bukanlah kerja, tetapi tenaga-kerja.
Upah, dengan demikian, adalah harga dari tenaga-kerja. Dan karena harga hanyalah ekspresi moneter dari nilai, maka upah hanyalah ekspresi dari nilai tenaga-kerja. Lantas, apa penentu nilai tenaga-kerja? Sama seperti komoditi lainnya, nilai tenaga-kerja ditentukan oleh kuantitas kerja rata-rata yang diperlukan untuk memproduksinya. Ada tiga komponen dari nilai tenaga-kerja: (1) kuantitas kerja yang diperlukan untuk memproduksi barang-barang kebutuhan hidup yang diperlukan untuk memelihara kehidupan si buruh, mengingat tenaga-kerja hanya bisa ada dalam individu yang hidup; (2) kuantitas kerja yang diperlukan untuk memproduksi barang-barang kebutuhan hidup yang diperlukan untuk membesarkan sejumlah anak tertentu yang akan menggantikan si buruh kelak di pasar tenaga-kerja setelah ia meninggal. Kapitalisme harus mempertahankan keberlangsungan ras pekerja untuk bisa terus beroperasi; (3) kuantitas kerja yang diperlukan untuk memperoleh ketrampilan tertentu dalam kasus tenaga-kerja terampil.
Kalau hakikat upah adalah kuantitas kerja atau waktu-kerja rata-rata yang diperlukan untuk memproduksi tenaga-kerja, maka apa hakikat dari keuntungan? Karena komoditi dijual sesuai dengan nilainya, maka keuntungan tidak mungkin berasal dari penjualan barang dengan harga di atas nilainya. Lagipula, dalam kapitalisme, setiap orang adalah pembeli sekaligus penjual, konsumen sekaligus produsen. Uang yang kita pakai untuk membeli sesuatu mesti kita dapatkan dari pihak lain. Jika seorang penjual mendapatkan keuntungan dari menjual barang di atas nilainya, maka ketika ia membeli barang dari penjual lain, penjual lain akan menerapkan hal yang sama ke dia, sehingga keuntungan yang ia dapatkan akan beralih ke penjual lain, dan demikian seterusnya. Mustahil keuntungan secara umum bisa diperoleh dengan cara seperti ini.
Keuntungan berasal dari jenis pertukaran yang khas antara kapital dan kerja. Katakanlah, waktu kerja yang diperlukan untuk memproduksi tenaga-kerja untuk sehari adalah 4 jam. Dan ekspresi moneter dari 4 jam kerja itu adalah Rp. 7000,-. Si kapitalis pun membeli tenaga-kerja dengan harga Rp. 7000,- per hari. Ketika si kapitalis membeli tenaga-kerja, ia memperoleh hak untuk mengonsumsi tenaga-kerja tersebut. Namun, tenaga-kerja hanya bisa dikonsumsi dengan membuat si buruh bekerja. Masalahnya, jika nilai tenaga-kerja dibatasi oleh waktu kerja yang diperlukan untuk memproduksi tenaga-kerja tersebut, penggunaan tenaga-kerja dibatasi oleh energi aktif dan kekuatan fisik si buruh. Karenanya, tenaga-kerja bisa menjalani waktu-kerja yang lebih besar dari waktu kerja yang diperlukan untuk memproduksi tenaga-kerja itu sendiri.
Kembali ke contoh kita di atas, meski waktu kerja yang diperlukan untuk memproduksi tenaga-kerja untuk sehari adalah 4 jam, tetapi batas maksimal waktu kerja yang bisa dijalani oleh tenaga-kerja tersebut dalam sehari, katakanlah, 8 jam. Seandainya si buruh bekerja tidak di bawah kapitalis, bisa saja ia hanya bekerja selama 4 jam sesuai dengan kebutuhan untuk mereproduksi tenaga-kerjanya. Tetapi, karena tenaga-kerjanya untuk sehari telah dibeli oleh si kapitalis, si kapitalislah yang berhak menentukan berapa lama ia bekerja. Dan si kapitalis akan membuat ia bekerja sampai batas maksimal yang bisa dia lakukan, yakni 8 jam. Jadi, ada 4 jam kerja tambahan di luar 4 jam kerja yang diperlukan untuk mereproduksi tenaga-kerjanya. 4 jam kerja tambahan ini pun menghasilkan nilai sebesar Rp. 7000,-. Marx menyebut nilai ini sebagai nilai surplus, dan nilai surplus tidak dikembalikan ke pekerja, melainkan menjadi keuntungan. 4 jam kerja tambahan ini, dengan demikian, adalah kerja buruh yang tidak dibayar. Jadi, hakikat keuntungan adalah nilai surplus yang dirampas dari buruh.
Celakanya, proses di atas sering tidak disadari, bahkan oleh buruh sendiri. Di sini, memang ada pengaburan kenyataan yang bekerja dengan canggih. Pertama, karena upah dibayarkan setelah buruh menyelesaikan kerjanya, si buruh melihat bahwa upah itu adalah harga atau nilai dari kerjanya. Padahal, upah adalah harga atau nilai dari tenaga-kerjanya, yang sudah ada dalam tubuh fisiknya sebelum ia bekerja. Kedua, terjadi percampuran antara kerja dibayar dengan kerja tidak dibayar, dimana keduanya dilakukan di satu tempat dengan waktu kerja yang bersambung. Akibatnya, keseluruhan kerja terlihat dibayar. Apalagi, pertukaran kapital-buruh dilakukan dengan kontrak yang membuat seolah-oleh semua ini dijalani buruh dengan sukarela. Ini berbeda dengan zaman feodal di Eropa, dimana terdapat pemisahan ruang dan waktu antara kerja petani-hamba yang dibayar dan tidak dibayar, sehingga terlihat secara kasat mata. Ketika petani-hamba bekerja untuk dirinya, ia melakukannya di waktu tertentu di tanahnya atau tanah yang dibagikan kepadanya, sementara kerja tak dibayar dilakukannya di waktu lain di tanah tuannya. Terkait nilai surplus atau keuntungan, perlu diklarifikasi bahwa yang dimaksud dengan keuntungan di sini berbeda dengan ’keuntungan bersih’ pengusaha yang dikenal dalam diskursus ekonomi kontemporer. Keuntungan bersih adalah nilai surplus yang sudah dikurangi dengan bermacam hal, seperti bunga utang, sewa tanah, bersambung... KLIK DISINI
Oleh: Mohamad Zaki Hussein
Anggota Partai Rakyat Pekerja (PRP), Redaktur Pelaksana Left Book Review (LBR)
Diterbitkan ulang untuk pendidikan dari Indoprogress.com
Post a Comment Blogger Facebook