0

PORTAL KNGB, Jakarta - ...dan lain-lain. Si kapitalis, setelah merampas nilai surplus dari pekerja, biasanya tidak mengantongi semuanya. Ia juga harus mendistribusikan nilai surplus itu ke pihak ketiga, seperti tuan tanah jika si kapitalis menyewa tanah untuk usahanya, bunga utang jika si kapitalis meminjam modal ke bank atau kapitalis-finansial lainnya, dan lain-lain.

Posisi Perjuangan Upah dalam Kapitalisme Berdasarkan paparan di atas, kita mengetahui bahwa nilai sebuah komoditi ditentukan oleh waktu kerja rata-rata yang diperlukan untuk memproduksi komoditi tersebut. Sebagian dari nilai komoditi ini merepresentasikan nilai atau kuantitas kerja yang terkandung dalam alat-alat produksi. Bagian ini hanyalah pengganti dari kapital yang digunakan, dan bukan merupakan pendapatan yang dihasilkan oleh kerja yang memproduksi komoditi tersebut. Sebagian lain dari nilai komoditi itu merupakan pendapatan yang dihasilkan oleh kerja yang memproduksi komoditi tersebut. Bagian terakhir inilah yang dibagi menjadi upah dan keuntungan.

Jika di bagian polemik dengan Weston, Marx sudah mengajukan bantahan yang berangkat dari faktor penawaran-permintaan di pasar, di bagian ini, Marx mengajukan bantahan yang murni bersandar pada teori nilai kerja. Karena harga komoditi diregulasi oleh total kuantitas kerja yang terkandung dalam komoditi itu, dan bukan oleh bagaimana total kuantitas kerja itu dibagi menjadi upah dan keuntungan, maka kenaikan upah hanya akan menurunkan keuntungan, dan demikian pula sebaliknya, tetapi tidak akan pernah mempengaruhi harga komoditi.

Selanjutnya, Marx membahas tentang perjuangan upah. Perjuangan upah biasanya merupakan reaksi atas perubahan-perubahan sebelumnya dalam kapitalisme. Ada setidaknya empat situasi yang mendorong perjuangan upah, baik itu perjuangan untuk menaikkan upah ataupun menahan penurunan upah. Situasi yang pertama adalah jika terdapat perubahan produktivitas kerja. Kalau produktivitas turun, sehingga diperlukan kuantitas kerja yang lebih besar untuk memproduksi barang-barang kebutuhan hidup, maka nilai tenaga-kerja akan naik dan keuntungan akan turun. Jika upah tidak naik, atau naik tetapi tidak sebanding dengan naiknya nilai barang-barang kebutuhan hidup, maka upah akan berada di bawah nilai tenaga-kerja dan standar kehidupan buruh akan turun. Kalau terjadi perjuangan upah dalam situasi ini, maka perjuangan itu adalah untuk menaikkan upah agar sesuai dengan nilai tenaga-kerja.

Sebaliknya, jika produktivitas meningkat, maka nilai barang-barang kebutuhan hidup dan tenaga-kerja akan turun, sementara keuntungan akan naik. Dalam situasi ini, standar kehidupan buruh akan tetap sama, tetapi upah relatif—upah berbanding keuntungan—dan posisi sosial relatif buruh akan turun. Kalau terjadi perjuangan upah dalam situasi ini, maka hal itu adalah karena buruh mencoba mendapatkan bagian dari peningkatan produktivitas kerjanya dan untuk mempertahankan posisi sosial relatifnya.

Situasi yang kedua adalah jika nilai uang berubah, sementara nilai barang-barang kebutuhan hidup dan tenaga-kerja tidak berubah. Misalnya, ekspresi moneter dari 6 jam kerja adalah Rp. 7000,-. Lalu, nilai mata uang turun sebesar 50 persen. Dalam hal ini, Rp. 7000,- tidak lagi sama dengan 6 jam kerja, tetapi menjadi sama dengan 3 jam kerja. Kalau upah tidak naik ketika nilai mata uang turun, maka upah akan mengekspresikan nilai tenaga-kerja yang lebih sedikit dari sebelumnya, sehingga standar kehidupan buruh akan turun. Hal ini juga berlaku jika upah naik tetapi tidak sebanding dengan turunnya nilai uang.

Situasi yang ketiga adalah jika terjadi perpanjangan jam kerja. Hal ini mungkin jarang terjadi di masa sekarang. Tetapi, selama perang anti-Jacobin di Inggris, jam kerja pernah diperpanjang dari 10 jam menjadi 12, 14, dan bahkan 18 jam. Kapital, jika tidak ditahan, memiliki kecenderungan untuk memperpanjang jam kerja, karena dengannya, nilai surplus atau keuntungan akan bertambah. Selain itu, kapital juga bisa meningkatkan intensitas kerja dengan mempercepat operasi mesin, dan sebagainya, sehingga dengan waktu kerja yang sama, seorang buruh bisa mengeluarkan tenaga lebih banyak dari sebelumnya. Jika hal ini terjadi, perjuangan untuk menaikkan upah sebenarnya merupakan upaya buruh untuk mengimbangi perpanjangan jam kerja atau intensitas kerja dan menahan kemerosotan hidupnya.

Situasi yang keempat terkait dengan krisis. Kapitalisme bergerak melalui siklus pertumbuhan, krisis dan stagnasi. Harga pasar komoditi dan tingkat keuntungan sesuai harga pasar juga mengikuti siklus ini, kadang di atas, kadang di bawah rata-rata. Pada fase krisis dan stagnasi, pekerja akan mengalami penurunan upah. Perjuangan di fase ini ditujukan agar buruh tidak ditipu kapitalis dan penurunan upah sesuai dengan yang diperlukan. Pada fase pertumbuhan, dimana para kapitalis mendapatkan keuntungan ekstra, buruh pun harus berjuang melawan kapitalis agar upah tidak di bawah rata-rata dan sesuai dengan nilai tenaga-kerjanya.

Jadi, perjuangan upah biasanya merupakan reaksi atas perubahan-perubahan dalam kapitalisme dan terikat dengan hukum-hukum ekonomi kapitalisme yang memperlakukan tenaga-kerja sebagai komoditi. Pertanyaannya, sejauh apa perjuangan upah bisa menghasilkan perubahan? Apakah kenaikan upah di atas nilainya yang merupakan hasil sebuah perjuangan upah, akan dibatalkan oleh hukum penawaran-permintaan di pasar tenaga-kerja? Tenaga-kerja memang komoditi, tetapi terdapat fitur-fitur tertentu yang membedakannya dari komoditi lainnya. Nilai tenaga-kerja dibentuk oleh dua jenis elemen, yaitu elemen yang bersifat fisik dan elemen yang bersifat historis atau sosial. Batas minimum dari upah memang ditentukan oleh elemen yang bersifat fisik, yakni kebutuhan buruh untuk mempertahankan keberadaan fisiknya. Begitu pula, batas maksimal dari waktu kerja juga ditentukan oleh elemen yang bersifat fisik, yakni kemampuan fisik buruh untuk bekerja.

Namun, nilai tenaga-kerja juga dibentuk oleh elemen yang bersifat historis atau sosial, yakni standar kehidupan yang didasarkan pada tradisi di suatu negeri atau wilayah. Standar kehidupan ini tidak hanya terdiri dari kebutuhan fisik, tetapi juga pemuasan berbagai kebutuhan yang dikonstruksi secara sosial-historis. Elemen-elemen sosial-historis ini bisa dimasukkan ke dalam nilai tenaga-kerja, dan jika sudah masuk, bisa diperluas atau diperkecil. Tetapi, elemen-elemen ini juga bisa dihapuskan sama sekali, sehingga yang tersisa dalam nilai tenaga-kerja hanyalah batasan-batasan yang bersifat fisik.

Lantas, apa batas maksimum dari upah? Menurut Marx, tidak ada hukum ekonomi yang menetapkan batas maksimum dari upah. Dengan demikian, batas minimum dari keuntungan juga tidak bisa ditetapkan, karena batas minimum dari keuntungan adalah batas maksimum dari upah. Meski demikian, keuntungan memiliki batas maksimumnya. Batas maksimum dari keuntungan adalah batas minimum dari upah dan batas maksimum dari waktu kerja, yang ditentukan oleh ketahanan fisik buruh. Kapital akan cenderung mendorong upah sampai batas minimumnya dan waktu kerja sampai batas maksimumnya untuk memaksimalkan keuntungan, sementara buruh akan cenderung mendorong ke arah yang sebaliknya. Di mana tingkat upah dan keuntungan yang aktual akan berada, bergantung pada kekuatan masing-masing pihak dalam perjuangan kelas. bersambung... KLIK DISINI
Oleh: Mohamad Zaki Hussein
Anggota Partai Rakyat Pekerja (PRP), Redaktur Pelaksana Left Book Review (LBR)

Diterbitkan ulang untuk pendidikan dari Indoprogress.com

Post a Comment Blogger

 
Top