PORTAL KNGB, Jakarta - ...Meski demikian, perjuangan upah juga memiliki batas. Dalam perkembangannya, kapitalisme akan menerapkan teknologi produksi yang lebih canggih dan meningkatkan produktivitas tenaga-kerja, sehingga menurunkan permintaan akan tenaga-kerja dan nilai tenaga-kerja. Artinya, kecenderungan umum dari kapitalisme adalah mendorong upah turun sampai batas minimumnya. Kaum buruh tentu harus melawan kecenderungan ini dengan perjuangan upah jika tidak ingin kehidupannya merosot. Namun, kaum buruh juga perlu menyadari bahwa perjuangan upah belum menyasar akar dari masalah upah murah, yaitu kapitalisme. Karenanya, selain melakukan perjuangan untuk upah dan kondisi kerja yang lebih baik, kaum buruh juga perlu melakukan perjuangan untuk mengganti kapitalisme dengan sistem ekonomi yang lebih bisa mensejahterakan rakyat.
Catatan Penutup Di atas, kita sudah melihat argumen Marx bahwa kenaikan upah tidak akan menyebabkan kenaikan harga. Kenaikan upah hanya akan menyebabkan tingkat keuntungan secara umum turun. Kemudian, kita juga sudah melihat bahwa nilai sebuah komoditi ditentukan oleh waktu kerja rata-rata yang diperlukan untuk memproduksi komoditi tersebut. Dan nilai sebuah komoditi berbanding terbalik dengan produktivitas kerja yang memproduksinya. Semakin tinggi produktivitas kerja, semakin kecil nilai per satu unit komoditi. Semakin rendah produktivitas kerja, semakin besar nilai per satu unit komoditi. Adapun hakikat upah adalah waktu-kerja rata-rata yang diperlukan untuk memproduksi tenaga-kerja, sementara hakikat keuntungan adalah nilai surplus yang dirampas dari buruh.
Lalu, kita juga sudah melihat pemaparan Marx tentang apa yang bisa dicapai dan batasan dari perjuangan upah. Meskipun perjuangan upah terikat dengan hukum-hukum ekonomi kapitalisme yang memperlakukan tenaga-kerja sebagai komoditi, tetapi ada perbedaan antara tenaga-kerja dengan komoditi lainnya. Nilai tenaga-kerja bisa tidak hanya dibentuk oleh kebutuhan-kebutuhan yang bersifat fisik, tetapi juga oleh kebutuhan-kebutuhan yang dikonstruksi secara sosial-historis. Artinya, kaum buruh bisa memperjuangkan ‘batasan historis’ yang lebih baik untuk nilai tenaga-kerja.
Saat ini, nilai tenaga-kerja Indonesia dipatok dengan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang diatur oleh Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 13 Tahun 2012. KHL versi pemerintah ini berisikan 60 komponen dan hanya menghitung kebutuhan buruh lajang. Kalau nilai tenaga-kerja Indonesia hendak ditingkatkan, maka perubahan konsep KHL-lah yang perlu kita perjuangkan. Dari kaum buruh sendiri sebenarnya sudah muncul usulan-usulan KHL versi buruh. Misalnya, pada 2006, Aliansi Buruh Menggugat (ABM) pernah menggagas KHL versi buruh dengan nama ‘Upah Layak Nasional’ (ULN). ULN tidak hanya menghitung kebutuhan buruh lajang, tetapi juga memasukkan kebutuhan buruh berkeluarga tanpa anak, beranak 1 dan 2. Saat ini, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) juga melontarkan KHL versi buruh yang berisikan 84 komponen. Sekarang, tinggal bagaimana ide-ide KHL versi buruh ini bisa didiskusikan dan dikembangkan bersama agar tercapai kesepakatan di antara berbagai elemen gerakan buruh tentang KHL yang bisa diperjuangkan secara bersama.
Selanjutnya, karena kapitalisme memiliki kecenderungan untuk mendorong upah turun, itu berarti akar masalah dari upah murah terletak pada kapitalisme itu sendiri. Dengan demikian, selain perjuangan untuk upah dan kondisi kerja yang lebih baik, kaum buruh juga perlu melakukan perjuangan untuk mengganti kapitalisme dengan sistem ekonomi yang lebih bisa mensejahterakan rakyat. Dan karena perjuangan untuk mengganti kapitalisme ini mensyaratkan adanya pengambilalihan kekuasaan politik oleh kaum buruh, maka kaum buruh juga perlu membangun partai politiknya sendiri.***
Penulis beredar di Twitterland dengan id @mzakih
Pustaka Tambahan Badan Pusat Statistik, “IHK dan Rata-rata Upah per Bulan Buruh Hotel di Bawah Mandor (Supervisor) Indonesia, 1996-2006 (IHK 1996=100),” http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=2&tabel=1&daftar=1&id_subyek=19¬ab=7.
Badan Pusat Statistik, “IHK dan Rata-rata Upah per Bulan Buruh Industri di Bawah Mandor (Supervisor) Indonesia, 1996-Triwulan I 2013 (IHK 1996=100),” http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=2&tabel=1&daftar=1&id_subyek=19¬ab=5.
Badan Pusat Statistik, “IHK dan Rata-rata Upah per Bulan Buruh Pertambangan di Bawah Mandor (Supervisor) Indonesia, 1996-2006 (IHK 1996=100),” http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=2&tabel=1&daftar=1&id_subyek=19¬ab=9.
Marx, Karl. Capital: A Critique of Political Economy. Jilid I. Diterjemahkan oleh Ben Fowkes. Middlesex: Penguin Books, 1976.
---------------------------------------------------
[1] Lihat Badan Pusat Statistik, “IHK dan Rata-rata Upah per Bulan Buruh Industri di Bawah Mandor (Supervisor) Indonesia, 1996-Triwulan I 2013 (IHK 1996=100),” http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=2&tabel=1&daftar=1&id_subyek=19¬ab=5; Badan Pusat Statistik, “IHK dan Rata-rata Upah per Bulan Buruh Hotel di Bawah Mandor (Supervisor) Indonesia, 1996-2006 (IHK 1996=100),” http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=2&tabel=1&daftar=1&id_subyek=19¬ab=7; Badan Pusat Statistik, “IHK dan Rata-rata Upah per Bulan Buruh Pertambangan di Bawah Mandor (Supervisor) Indonesia, 1996-2006 (IHK 1996=100),” http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=2&tabel=1&daftar=1&id_subyek=19¬ab=9.
[2] Kata-kata dalam versi Inggrisnya: ‘the aggregate of those mental and physical capabilities existing in the physical form, the living personality, of a human being.’ Karl Marx, Capital: A Critique of Political Economy, Jilid I, diterjemahkan oleh Ben Fowkes (Middlesex: Penguin Books), 1976, hlm. 270. Terjemahan kutipan dalam Bahasa Indonesia oleh saya.
Catatan Penutup Di atas, kita sudah melihat argumen Marx bahwa kenaikan upah tidak akan menyebabkan kenaikan harga. Kenaikan upah hanya akan menyebabkan tingkat keuntungan secara umum turun. Kemudian, kita juga sudah melihat bahwa nilai sebuah komoditi ditentukan oleh waktu kerja rata-rata yang diperlukan untuk memproduksi komoditi tersebut. Dan nilai sebuah komoditi berbanding terbalik dengan produktivitas kerja yang memproduksinya. Semakin tinggi produktivitas kerja, semakin kecil nilai per satu unit komoditi. Semakin rendah produktivitas kerja, semakin besar nilai per satu unit komoditi. Adapun hakikat upah adalah waktu-kerja rata-rata yang diperlukan untuk memproduksi tenaga-kerja, sementara hakikat keuntungan adalah nilai surplus yang dirampas dari buruh.
Lalu, kita juga sudah melihat pemaparan Marx tentang apa yang bisa dicapai dan batasan dari perjuangan upah. Meskipun perjuangan upah terikat dengan hukum-hukum ekonomi kapitalisme yang memperlakukan tenaga-kerja sebagai komoditi, tetapi ada perbedaan antara tenaga-kerja dengan komoditi lainnya. Nilai tenaga-kerja bisa tidak hanya dibentuk oleh kebutuhan-kebutuhan yang bersifat fisik, tetapi juga oleh kebutuhan-kebutuhan yang dikonstruksi secara sosial-historis. Artinya, kaum buruh bisa memperjuangkan ‘batasan historis’ yang lebih baik untuk nilai tenaga-kerja.
Saat ini, nilai tenaga-kerja Indonesia dipatok dengan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang diatur oleh Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 13 Tahun 2012. KHL versi pemerintah ini berisikan 60 komponen dan hanya menghitung kebutuhan buruh lajang. Kalau nilai tenaga-kerja Indonesia hendak ditingkatkan, maka perubahan konsep KHL-lah yang perlu kita perjuangkan. Dari kaum buruh sendiri sebenarnya sudah muncul usulan-usulan KHL versi buruh. Misalnya, pada 2006, Aliansi Buruh Menggugat (ABM) pernah menggagas KHL versi buruh dengan nama ‘Upah Layak Nasional’ (ULN). ULN tidak hanya menghitung kebutuhan buruh lajang, tetapi juga memasukkan kebutuhan buruh berkeluarga tanpa anak, beranak 1 dan 2. Saat ini, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) juga melontarkan KHL versi buruh yang berisikan 84 komponen. Sekarang, tinggal bagaimana ide-ide KHL versi buruh ini bisa didiskusikan dan dikembangkan bersama agar tercapai kesepakatan di antara berbagai elemen gerakan buruh tentang KHL yang bisa diperjuangkan secara bersama.
Selanjutnya, karena kapitalisme memiliki kecenderungan untuk mendorong upah turun, itu berarti akar masalah dari upah murah terletak pada kapitalisme itu sendiri. Dengan demikian, selain perjuangan untuk upah dan kondisi kerja yang lebih baik, kaum buruh juga perlu melakukan perjuangan untuk mengganti kapitalisme dengan sistem ekonomi yang lebih bisa mensejahterakan rakyat. Dan karena perjuangan untuk mengganti kapitalisme ini mensyaratkan adanya pengambilalihan kekuasaan politik oleh kaum buruh, maka kaum buruh juga perlu membangun partai politiknya sendiri.***
Penulis beredar di Twitterland dengan id @mzakih
Pustaka Tambahan Badan Pusat Statistik, “IHK dan Rata-rata Upah per Bulan Buruh Hotel di Bawah Mandor (Supervisor) Indonesia, 1996-2006 (IHK 1996=100),” http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=2&tabel=1&daftar=1&id_subyek=19¬ab=7.
Badan Pusat Statistik, “IHK dan Rata-rata Upah per Bulan Buruh Industri di Bawah Mandor (Supervisor) Indonesia, 1996-Triwulan I 2013 (IHK 1996=100),” http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=2&tabel=1&daftar=1&id_subyek=19¬ab=5.
Badan Pusat Statistik, “IHK dan Rata-rata Upah per Bulan Buruh Pertambangan di Bawah Mandor (Supervisor) Indonesia, 1996-2006 (IHK 1996=100),” http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=2&tabel=1&daftar=1&id_subyek=19¬ab=9.
Marx, Karl. Capital: A Critique of Political Economy. Jilid I. Diterjemahkan oleh Ben Fowkes. Middlesex: Penguin Books, 1976.
---------------------------------------------------
[1] Lihat Badan Pusat Statistik, “IHK dan Rata-rata Upah per Bulan Buruh Industri di Bawah Mandor (Supervisor) Indonesia, 1996-Triwulan I 2013 (IHK 1996=100),” http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=2&tabel=1&daftar=1&id_subyek=19¬ab=5; Badan Pusat Statistik, “IHK dan Rata-rata Upah per Bulan Buruh Hotel di Bawah Mandor (Supervisor) Indonesia, 1996-2006 (IHK 1996=100),” http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=2&tabel=1&daftar=1&id_subyek=19¬ab=7; Badan Pusat Statistik, “IHK dan Rata-rata Upah per Bulan Buruh Pertambangan di Bawah Mandor (Supervisor) Indonesia, 1996-2006 (IHK 1996=100),” http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=2&tabel=1&daftar=1&id_subyek=19¬ab=9.
[2] Kata-kata dalam versi Inggrisnya: ‘the aggregate of those mental and physical capabilities existing in the physical form, the living personality, of a human being.’ Karl Marx, Capital: A Critique of Political Economy, Jilid I, diterjemahkan oleh Ben Fowkes (Middlesex: Penguin Books), 1976, hlm. 270. Terjemahan kutipan dalam Bahasa Indonesia oleh saya.
Post a Comment Blogger Facebook