PORTAL KNGB, Jakarta -
*Dalam data dasarnya, angka tahun 2012 masih berupa angka perkiraan
Sumber: dibuat berdasarkan data Statistik Indonesia 2013 http://www.bps.go.id/hasil_publikasi/SI_2013/index3.php?pub=Statistik%20Indonesia%202013
Selanjutnya KLIK DISINI
*Dalam data dasarnya, angka tahun 2012 masih berupa angka perkiraan
Sumber: dibuat berdasarkan data Statistik Indonesia 2013 http://www.bps.go.id/hasil_publikasi/SI_2013/index3.php?pub=Statistik%20Indonesia%202013
Jadi, secara umum pengusaha masih mampu menaikkan upah buruh sebesar 50%. Kalau mereka menolak, itu bukan karena mereka tidak mampu, tapi karena mereka tidak mau keuntungan bersih mereka turun. Penghitungan di atas memang menggunakan data industri besar dan sedang, yakni industri yang jumlah pekerjanya di atas 20 orang. Begitu pula, penghitungan di atas menggunakan angka agregat. Artinya, penghitungan di atas belum memperhitungkan industri kecil dan mikro serta keragaman kekuatan perusahaan. Namun, jika ada pengecualian berupa sektor yang tidak sanggup menahan kenaikan upah 50%, itu bukan berarti tuntutan kenaikan upah 50% diturunkan. Yang diperlukan adalah subsidi negara atas sektor tersebut agar sektor itu mampu menaikkan upah buruhnya sebesar 50%. Negara memang memiliki tanggung jawab untuk mensejahterakan rakyatnya, termasuk kaum buruh.
Kenapa Inpres No. 9 Tahun 2013 Harus Ditolak?
Inpres No. 9 Tahun 2013 Tentang Kebijakan Penetapan Upah Minimum Dalam Rangka Keberlangsungan Usaha dan Peningkatan Kesejahteraan Pekerja, dikeluarkan pada 27 September 2013. Inpres ini sebenarnya merupakan turunan dari “Paket Kebijakan Stabilisasi dan Pertumbuhan Ekonomi," yang dikeluarkan pemerintah pada 23 Agustus 2013 sebagai respon terhadap krisis Rupiah. Isi paket kebijakan itu pada dasarnya adalah memberikan insentif kepada investor dan melimpahkan beban krisis pada buruh dan rakyat pekerja lainnya.
Terkait upah buruh, paket kebijakan itu menyatakan bahwa pemerintah akan “Mengarahkan penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) untuk mencegah terjadinya PHK…dengan membedakan kenaikan untuk Upah Minimum Industri UMKM dan Industri Padat karya dengan Industri Padat Modal.” Meski diungkapkan dengan bahasa yang seakan-akan berpihak pada buruh, yakni “mencegah terjadinya PHK,” tetapi apa yang dimaksud oleh pemerintah sebenarnya adalah bahwa di tengah krisis, upah harus rendah agar pengusaha tetap untung, sehingga mereka tetap mau berinvestasi dan tidak terjadi PHK.
Itulah kenapa poin tentang upah buruh dalam paket kebijakan itu diletakkan di bawah “Insentif yang akan diberikan dalam jangka pendek.” Artinya, poin upah buruh itu merupakan insentif untuk pengusaha, bukan untuk buruh. Tidak lama setelah keluarnya “Paket Kebijakan Stabilisasi dan Pertumbuhan Ekonomi,” muncullah wacana tentang pembatasan kenaikan upah minimum yang hanya boleh naik 10% atau 20% di atas inflasi. Lalu, keluar Inpres No. 9 Tahun 2013.
Kenapa Inpres No. 9 Tahun 2013 Harus Ditolak?
Inpres No. 9 Tahun 2013 Tentang Kebijakan Penetapan Upah Minimum Dalam Rangka Keberlangsungan Usaha dan Peningkatan Kesejahteraan Pekerja, dikeluarkan pada 27 September 2013. Inpres ini sebenarnya merupakan turunan dari “Paket Kebijakan Stabilisasi dan Pertumbuhan Ekonomi," yang dikeluarkan pemerintah pada 23 Agustus 2013 sebagai respon terhadap krisis Rupiah. Isi paket kebijakan itu pada dasarnya adalah memberikan insentif kepada investor dan melimpahkan beban krisis pada buruh dan rakyat pekerja lainnya.
Terkait upah buruh, paket kebijakan itu menyatakan bahwa pemerintah akan “Mengarahkan penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) untuk mencegah terjadinya PHK…dengan membedakan kenaikan untuk Upah Minimum Industri UMKM dan Industri Padat karya dengan Industri Padat Modal.” Meski diungkapkan dengan bahasa yang seakan-akan berpihak pada buruh, yakni “mencegah terjadinya PHK,” tetapi apa yang dimaksud oleh pemerintah sebenarnya adalah bahwa di tengah krisis, upah harus rendah agar pengusaha tetap untung, sehingga mereka tetap mau berinvestasi dan tidak terjadi PHK.
Itulah kenapa poin tentang upah buruh dalam paket kebijakan itu diletakkan di bawah “Insentif yang akan diberikan dalam jangka pendek.” Artinya, poin upah buruh itu merupakan insentif untuk pengusaha, bukan untuk buruh. Tidak lama setelah keluarnya “Paket Kebijakan Stabilisasi dan Pertumbuhan Ekonomi,” muncullah wacana tentang pembatasan kenaikan upah minimum yang hanya boleh naik 10% atau 20% di atas inflasi. Lalu, keluar Inpres No. 9 Tahun 2013.
Semangat Inpres No. 9 Tahun 2013 adalah semangat upah murah demi “keberlangsungan dunia usaha.” Ada setidaknya tiga masalah dalam Inpres ini. Pertama, instruksi no. 3 kepada Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) untuk membedakan kenaikan upah minimum industri padat karya tertentu dengan industri lainnya di daerah yang upah minimumnya masih di bawah KHL. Ini sama saja dengan meniadakan kenaikan upah minimum yang bersifat lintas-sektoral (UMP/K) dan hanya membolehkan kenaikan upah minimum sektoral (UMSP/K) di daerah yang upah minimumnya masih di bawah KHL.
Kedua, instruksi no. 4 kepada Menakertrans menyatakan bahwa “besaran kenaikan upah pada provinsi dan/atau kabupaten/kota yang upah minimumnya telah mencapai KHL atau lebih, ditetapkan secara bipartit antara pemberi kerja dan pekerja dalam perusahaan masing-masing.” Ini sama saja dengan meniadakan kenaikan UMP/UMK di provinsi/kabupaten/kota yang upah minimumnya sudah mencapai KHL atau lebih.
Ketiga, Inpres ini melibatkan kepolisian untuk “memantau proses penentuan dan pelaksanaan kebijakan penetapan Upah Minimum.” Hal ini membuka peluang bagi tindak represi oleh kepolisian saat proses penentuan upah minimum. Begitu pula, hal ini bertentangan dengan UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan Konvensi ILO Nomor 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Untuk Berorganisasi serta Konvensi ILO Nomor 98 tentang Hak Berunding Bersama.
Kedua, instruksi no. 4 kepada Menakertrans menyatakan bahwa “besaran kenaikan upah pada provinsi dan/atau kabupaten/kota yang upah minimumnya telah mencapai KHL atau lebih, ditetapkan secara bipartit antara pemberi kerja dan pekerja dalam perusahaan masing-masing.” Ini sama saja dengan meniadakan kenaikan UMP/UMK di provinsi/kabupaten/kota yang upah minimumnya sudah mencapai KHL atau lebih.
Ketiga, Inpres ini melibatkan kepolisian untuk “memantau proses penentuan dan pelaksanaan kebijakan penetapan Upah Minimum.” Hal ini membuka peluang bagi tindak represi oleh kepolisian saat proses penentuan upah minimum. Begitu pula, hal ini bertentangan dengan UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan Konvensi ILO Nomor 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Untuk Berorganisasi serta Konvensi ILO Nomor 98 tentang Hak Berunding Bersama.
Selanjutnya KLIK DISINI
Post a Comment Blogger Facebook